Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Koloni (45)

10 Juni 2017   04:16 Diperbarui: 10 Juni 2017   04:22 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Irvan Sjafari

Segmen Empat

Persaudaraan Serangga

EMPAT PULUH LIMA

Waktu dan Tempat Tak Diketahui

Populasi di koloni sudah mencapai 3000-an. Jumlahnya meningkat hampir tiga kali lipat ketika Alif tiba secara misterius di pulau (atau negeri) yang luasnya belum semua diketahuinya.  Oh, ya hingga saat ini Alif tidak tahu bagaimana caranya ia tiba.  Zahra tersangka utama membawanya selalu tergelak-gelak ketika ditanya: “Masih rahasia kakanda”. Apalagi Harum kawannya: “Nanti Kang Alif tahu.”  

Alif juga tidak ingat kapan kejadiannya.  Yang ia tahu ia dinikahkan dengan bidadarinya yang cantik itu dan mereka sudah dikaruniai tiga anak yang cantik-cantik semua. Yang tertua sudah berusia remaja awal, mungkin 13-14 tahun.  Itu artinya 15 tahun kalau itu satuan di dunianya.  Kira-kira juga.  Karena koloni hanya pakai hitungan bulan.

Kalau begitu usianya seharusnya di atas 40 tahun.   Tetapi ia merasa masih sekitar 35 tahunan mungkin pengaruh udara dan makanan dari dunia yang bebas polutan dan kimia.  Bukankah zaman Nabi Nuh usia manusia bisa ratusan tahun. 

Oh, ya itu yang sangat ditakuti Alif.  Jangan-jangan dia ada di dimensi atau diculik ke planet lain yang atmosfirnya sama dengan Bumi. Jangan-jangan satu tahun di koloni bisa dua, tiga bahkan sepuluh tahun ukuran bumi.

Dia sadar kalau ia mengungkapkan kehawatiran pada kedua perempuan itu tentu ia bakal ganti ditanya.  Zahra pasti bertanya: “Apa memang lebih indah tempat kakanda berasal?  Enak di sini kak, makan cukup, pakaian cukup, cuacanya bersahabat… “ 

Bagaimana dengan Harum? Dia lebih lugas. “Sudahlah kang…bukankah ini dunia Kang Alif inginkan?  Tidak ada keserakahan dan tidak ada Kaum Adam sembarangan memperkosa Kaum Hawa.  Tuh bidadari kamu itu, bukankah seperti impianmu?” 

Hari itu  dia  mendapat libur dari tugasnya mengajar, karena anak-anak mendapat tugas lain: pendidikan alam.   Seharusnya Alif diajak Zahra memperbaiki kepompongnya yang sudah usang di gua tengah hutan itu.  Tetapi si  kembar Euca dan Actie  mengajak ibunya menonton pertunjukkan rahasianya bersama  gurunya Evan Sektian dan Harumi.  Alif sebetulnya  juga ingin ikut. Tetapi pertunjukkan itu khusus untuk perempuan. Bagian dari pendidikan alam.

“Laki-laki tidak boleh ikut, rahasia?”  Zahra tergelak khasnya. Dia mencium dan menggigit cuping telinganya. “Gigitan kupu-kupu.”

Alif akhirnya memilih mengunungi blok lain dari koloni.  Dia diperbolehkan membawa kendaraan semut melintasi ladang jagung dan padi untuk tiba di blok yang berjarak satu kilometer dari blok tempat dia tinggal.  Karena sering terbang dengan kupu-kupu Zahra, Alif sudah menghafal dalam benaknya wilayah koloni berbentul hexagonal kalau dilihat dari udara.    

Blok tempat dia tinggal bersama Zahra anggap Blok I. Karena di situ ada Rumah Mahkota dan tempat tinggal para tetua. Sekalipun mereka jarang membaur.  Di Blok ini ada auditorium tempat hiburan.  Blok ini tempat tinggal kaum kupu-kupu dan lebah. 

Antar blok itu ada peternakan lebah, kebun sayur mayur, ladang jagung, padi, pohon sukun, kolam ikan yang dipisahkan dengan jalan tanah dan batu.  Luas koloni yang dihuni, kalau digabung keenam blok, berikut infrastruktur pendukung, berikut ruang terbuka hijau ditaksir Alif dibanding Kota Bandung adalah areal dari Dago, Cipaganti, Cihampelas hingga alun-alun atau hanya separuh wilayah Bandung bagian utara.  Lebih dari cukup untuk ruang hidup tiga ribu populasi. 

Alif memperkirakan masih cukup untuk enam ribu manusia dan itu artinya daya dukung Koloni masih bisa hingga sepuluh tahun mendatang.  Tetapi apa yang terjadi sesudah itu dia tidak tahu.      

Kendaraan semut yang dipinjamnya dari Andro   akhirnya melalui Blok II tempat tinggal para rayap yang terkenal dengan arsitekturnya yang menakjubkan. Dia memotret sebuah bangunan baru yang dirancang “Insinyur” Christine, berbentuk kerucut. Kamera digitalnya yang sudah berkurang ketajamannya, dan memory card terus dihapus kalau penuh.

Bangunan itu  terbuat dari tanah liat dipadu batu-batu. Namun agar tidak rontok dengan hujan Christine membuat alur-alur air dan mengalirkan langsung ke dalam kolam bawah tanah. 

Blok II punya ruang tempat makan sendiri bagi warganya.  Tampaknya juga baru dibuat karena ketika dia datang dulu mereka masih makan di Blok I.  Tempat makan Blok II berbentuk bulat mirip jamur karena ada tiang utama di tengahnya.  Sebagian komunitas lebah dan kupu-kupu juga tinggal di sini.

Beberapa warga Blok II membersihkan jalanan. Di antaranya ada yang menyapa. Beberapa lagi membersihkan bangunan.    Sebagian warga koloni berdiam di sarangnya masing-masing.  Anak-anak bermain di koridor antar sarang berbentuk hexagonal itu tanpa rasa takut. 

Harum benar, tidak akan ada yang menculik anak-anak di negeri ini, tak ada kaum pedophilia, karena semua anak tumbuh normal, tak ada perkelahian yang serius karena mainan cukup, makanan cukup, kalau pun ada yang berkelahi sifatnya temporer seperti anak-anak lazimnya.  Ada anak-anak yang berolahraga bermain kasti. 

 

Ketika dia hendak ke blok berikutnya, dia berpapasan dengan kendaraan semut yang diketahuinya dikendarai Adolf.  Dia mirip dengan anak muda Papua atau Maluku di dunia tempat asalnya. Kemungkinan dia dipungut salah satu para tetua ketika ada di sana dan tetua itu menemukan ada bayi dibuang.  

Adolf bersama seorang gadis blasteran Eropa dan Asia. Mungkin korban aborsi juga dulunya.

“Kak Alif hendak ke mana?” sapanya ramah. “Kenalkan calon aku Agatha Marian. Dia dari Rayap. Aku hendak saja mengantarkannya ke rumahnya.”

“Ke blok berikutnya Adik Adolf!” sahut Alif.

“Itu Semut-nya Kak Andro ya, komandan aku?”

“Iya, Andro katanya ada tugas.”

“Komandan dipanggil ke bagian Utara. Tetapi kakak tidak boleh ke sana?”

Mereka berpisah.  Alif kemudian melalui jembatan yang menyeberangi sungai dengan kedalaman cukup tinggi.   Dia tahu itu sungai yang dilaluinya ketika kencan dengan Zahra.   Jembatan itu terbuat beton dengan pagar kayu lebar lima meter dan panjang sekitar seratus meter untuk tiba di sisi seberang. 

Sebetulnya kendaraan semut bisa merayap melalui tebing, bahkan vertikal 90 derajat, tetapi Alif ingin santai.  

Setelah melalui hutan pohon sukun dan pohon sagu Alif tiba di Blok berikutnya yang ia sebut sebagai Blok III.   Kawasan ini tempat tinggal para semut, walau bagian serdadunya lebih lama berpatroli atau berlatih di bagian lain pulau.   

Apartemen semut menakjubkan. Ruang makan bersama mereka seperti enam daun yang ditumpuk dengan tiang seperti dahan.  Hari ini yang tinggal hanya berapa orang yang menyiapkan dapur. Anak-anak bermain panjat memanjat tiang dengan tangkas di bawah pengawasan remaja yang lebih tua.  

Alif meneruskan perjalanannya ke Blok IV tempat tinggal para tawon. Blok ini sebetulnya berhadapan dengan Blok I hanya saja dipisahkan hutan, sungai dan bukit.  Para tawon suka tempat ini karena di atas bukit.    Ruang makan mereka bahkan tergantung di pinggir tebing menghadap lembah sungai.

Alif memarkir kendaraannya di Taman Tawon penuh dengan bunga seperti halnya taman blok I.  Perutnya keroncongan. Dia ingin makan di sini.  Bagi warga koloni boleh makan di blok mana saja, bahkan warga suatu blok suka kalau ada warga blok lain makan di tempatnya.

“Kak Alif sendirian? Kak Zahra ke mana?” Dia disapa oleh Ristia Firdasyah serdadu Tawon yang tidak sedang bertugas. Dia mengenakan celana dan baju berwarna hijau telur asin dan tutup kepala hitam.  Rupanya Ristia sedang menyiapkan makan siang bagi warga koloni yang tidak makan di rumah.

Ristia sudah tumbuh menjadi remaja dewasa dengan tinggi 165 cm namun tubuhnya kokoh.  Alif sendiri memakai celana biru dan baju biru serta tutup kepala warna biru kesukaan dia.

“Zahra sama Euca dan Actie, Lepi lagi jalan-jalan sama Giri,” ujar Alif.

Ristia menyilahkan Alif duduk di dekat jendela.  Dia bisa melihat panorama menakjubkan.  Beberapa waktu kemudian Ristia sudah menyiapkan hidangan enam kentang perkedel isi daging ayam dengan sayuran wortel, bayam dan jagung.  Minumannya selain air putih dan ada jus nenas dengan madu sebagai gulanya.

“Senang kakak makan di sini,” katanya. “Ini diracik oleh aku, diajarkan kakak ini.”

Alif menoleh kepada seorang perempuan usia tiga puluhan yang ia pernah kenal. Dia mengenakan baju, celana kuning dan tutup kepala hijau.

“Elin Halida?”

“Benar Alif, kita jumpa lagi setelah sekian lama,” ucapnya.

Alif ingin dia korban human trafficking yang ditemui bersama Harum. Bagaimana dia bisa di tempat ini juga?    Dia juga melihat Lidya Wijayakusuma yang dikenalnya di ruang kerjanya sedang makan di meja lain.  Mereka jarang bercakap-cakap. Rupanya Lidya tinggal di Blok ini. Akhrinya Lidya membawa piring dan minumannya ke meja Alif.

“Kami sama-sama orang Bandung Kang Alif!” ujar Elin. “Panjang ceritanya bisa sampai ke mari. Yang jelas saya dan Lidya menemukan kedamaian di tempat ini.”

“Faiz di blok mana?”

“Dia ada di sini. Mau bikin tulisan tentang anak tawon, nih Ristia calon Ketuanya?” ujar Lidya.

“Ya, Majalah Insekta belum punya ide. Katanya kamu bisa terbang cepat dengan tawon? Lebih cepat waktu di pantai?”

“Mau coba?” tanya Ristia. “Tetapi kalau aku bonceng, nanti dimarahi Kak Zahra. Tahu nggak dia sampai keliling para gadis di negeri ini untuk tidak dekat dengan Pangeran dia.”

“Semua blok dia sudah singgah.” sela Elin.

Alif tertawa ngakak.  Secara tak langsung dia menjadi populer.

Elin kemudian menatap Alif. “Ingin tahu bagaimana saya bisa sampai ke negeri ini? Sayang kami sudah janji tidak kasih tahu kamu.”

Alif menggerutu satu pulau atau satu negeri berkomplot semua. Mungkin mereka takut kalau dia keluar dapat membahayakan koloni.

“Kalau nggak salah ini bagian utara pulau di mana tempat terlarang itu?”

“Di balik tempat tinggal kami ada bukit. Itu daerah terlarang,” kata Ristia. “Batasnya makam para tetua yang meninggal ketika penyusup mau masuk ke negeri kami. Aku masih kecil waktu itu.” 

“Makam? Berarti ada makam lain selain yang dekat Rumah Mahkota? Mungkin portal tempat dia bertemu Harum.  Demikian dugaan Alif.

Tanpa terasa mereka selesai bersantap.  Lalu Alif diajak Ristia dan Elin untuk salat bersama di ruang khusus pulau.  Mereka tetap meminta Alif menjadi imam.

Begitu keluar dua serdu tawon sudah menunggu.  Mereka menemani komandannya Ristia ke tempat makam tetua sudah meninggal. Mereka mendaki bukit sejauh seratus meter dari batas blok.  Alif melihat ada puluhan makam di situ. 

Dia mengamati satu baris makam. Di situ ada nama Peltu Andrian Lapian, Kopral  Didit Prajoko,  Pratu Jansen Tambunan, Pratu Sunaryo,  Inspektur Satu  Adeline Angel,  Dulhamid Mustafa , Haikal Arifin,  Kevin Christopher Kwok,  Siti Zulaikha dan Reidhan Dwi Utama.

“Evan Sektian putri dari Adeline. Ibunya gugur di mata dia dalam pertempuran untuk mempertahankan koloni. Itu sebabnya dia mau menjadi serdadu.  Ayahnya seorang insinyur bangunan juga sudah meninggal ketika membangun koloni ini. “

“Dulhamid Mustafa?  Militan itu?  Drop out Teknik Sipil ITB yang galau dan bergabung di sebuah kelompok garis keras.  Mengapa dia memlilih bergabung dengan koloni?  Aku pernah mendengar namanya waktu jadi wartawan, tetapi dia dilaporkan hilang di sebuah negara di Timur Tengah beberapa tahun sebelum aku jadi wartawan?”   kata Alif.

“Memang seperti itu dibuat ceritanya. Ayahku mengundurkan diri dari medan perang karena tertarik dengan ide koloni membentuk peradaban baru yang rahmatan alamin tapi dengan cara damai.  Dia mundur dari kelompoknya ke tempat ini bersama ibuku.  Aku putrinya, Ayah meninggal ketika aku masih bayi,” sahut Ristia. “Jadi nasib aku dan Kak Evan Sektian sama. Itu sebabnya aku ingin jaga tempat ini.”

“Ibumu masih hidup?”

Ristia mengangguk. “Adik aku juga, kami tinggal satu blok. Itu Reidhan Dwi Utama, dia putra dari Pak Nanang Sumarna dan Kevin Christopher Kwok teman sebayanya. Ayahnya juga bergabung dengan Koloni.”

“Pak Nanang punya anak berapa?”

“Hanya satu, yang meninggal itu. Tapi dia meninggalkan dua orang cucu, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka membaur di koloni. Tidak diistimewakan di koloni. Bagi Pak Nanang semua anak-anak koloni adalah anak-anaknya.  Itu sebabnya dia mempertahankan benar agar seperti Kang Alif tidak gegabah pergi, kemudian kembali membawa bencana,” sergah Elin.

Mengharukan juga. Pak Nanang tidak pernah cerita, anaknya meninggal di koloni.

Mereka semua korban bentrokan dengan para penyusup. Koloni ini bentrok bukan hanya dengan geng narkoba seperti yang diceritakan Pak Nanang Sumarna, tetapi juga dengan penyusup lainnya.  Bisa jadi mereka bajak laut yang kerap disinggung dalam rapat.  

“Di mana pertempurannya?”

“Beberpa kali dan semua di balik bukit ini Kak. Itu sebabnya terlarang.” jawab Ristia.  “Wilayah itu paling lemah di negeri ini.  Serdadu semut dan serdadu tawon tidak semua diperkenankan ke sana. Hanya tentara para tetua yang melatih kami.  Kami hanya menjaga kalau garis pertama ditembus, kami mempertahankan blok demi blok.”

Strategi pertahanan jitu.

“Jadi kalau kakak nekad ke sana, ya terpaksa kami tidurkan!” kata seorang anak buah Ristia dengan enteng. Dia siap dengan serbuk mengawasi gerak-gerik Alif. Namanya Fatin Yunita. Tubuhnya berapa senti di bawah Alif dan usianya masih belasan tahun, mungkin tujuh belas.  Alif ingat dia anak yang kerap bertanya di kelas.  Di sebelahnya Gilang sebaya dan mereka lengket, mungkin pacaran.  Dia juga siap dengan serbuk.

“Para tetua tidak mau ada kejadian lagi.  Saya dengar cerita pertempuran di pantai sudah mirip perang walau antara tentara pengikut para tetua dengan geng narkoba,” tutur Elin.

“Waktu itu kami masih kecil-kecil belum bisa bertempur,” kata Ristia.

Alif menghitung dua belas di pihak koloni.  Kevin Christopher dan Reidhan Dwi Utama mungkin korban sipil anak para tetua atau yang bekerja di pihak mereka. Sementara ada lebih dari tiga puluh penyusup dimakamkan di tempat ini. Koloni masih memberi hormat pada mereka.  

Ditambah dengan makam di sebelah sana lima belas orang. Sebetulnya angka yang kecil secara militer untuk tiga pertempuran, termasuk yang menewaskan Kang Yunus.  Semua makam tanpa tahun, menjadikannya semakin misterius bagi Alif.

“Nah yang sebelah sana adalah makam mereka yang meninggal karena sakit dan sudah tua. Ada sembilan orang,” ujar Elin menunjuk deretan makam lainnya.

Di batas utara makam terdapat tembok setinggi lima meter ada pepohonan di balik tembok itu. Tembok itu terjal dan tidak mungkin dipanjat.  Alif melihat ada beberapa menara setinggi lebih dari sepuluh meter setiap seratus meter dari tembok.  Alif menduga inilah menara untuk membuat medan kamuflase.   

Makam ini dekat dengan hamparan kebun teh, walau tidak luas. Terdapat juga kebun kopi.  Alif melihat anak-anak tawon memetik teh dari kendaraan mereka dan membawanya ke bawah. Ristia kemudian mengajak Alif dan Elin turun. Kami kembali ke rumah makan bersama yang menjadi tempat berkumpul para warga blok ini.

Di dekat rumah makan sudah ada dua kupu-kupu parkir.  Lepidoptera dan Giri mereka sudah jadi pasangan remaja.

“Kami lihat ayah dari atas,” ujar Lepidoptera menghambur memeluknya. “Ayah jalan-jalan ya?”

 

Alif mendekap putrinya yang begitu menyayanginya. Dia tahu kekhawatiran warga koloni dan para tetua. Dia mengusir kembali kerinduannya terhadap dunia masa lalunya. Wajar kalau para tetua takut mereka bergaul dengan orang luar.   

Apa mereka tidak kebal penyakit karena lama terasing?  Apa para tetua takut mereka seperti Indian Suku Maya atau Aztec bertemu orang Spanyol? Mereka tidak mau kehilangan lagi? Tetapi bukankah seorang manusia pasti mati.

Terbesit dalam benaknya. Mengapa harus peduli pada mereka yang di luar? Yang di luar saja belum tentu memikirkan dia bahkan memikirkan dan mempunyai kepedulian terhadap sesama mereka, spesies manusia.

Alif melanjutkan perjalanan ke Blok Lima tempat para Undur-undur dan sebagian semut dari Koloni. Di sini dia bertemu bengkel membuat alat musik dan para penari kreatif. Sejumlah anak belajar menyanyi dengan lagu-lagu yang tidak pernah didengar di dunia Alif dahulu. 

Pimpinan mereka Tiara Yasmin dan Tata Koswara menyambut Alif yang masuk bersama Lepidoptera dan Giri.  Mereka menpersembahkan pertunjukkan musik buat para tamu dan tarian undur-undur.

Blok VI adalah tempat tinggal Kaum Kunang-kunang   dan sebagian semut.  Evan Sektian bermarkas di sini.  Blok ini penuh dengan lampu dan kalau malam paling terang benderang.  Tetapi tempatnya terlindung pepohonan dan tanaman tebu.  Di blok ini Alif bertemu Zahra dan si kembar Euca dan Actie, mereka tampak habis melakukan aktivitas.

Di situ juga ada Harum dan Anis.  Menjelang Mahgrib.

“Salat kak Alif?”  ajak Anis.

Dia ikut menumpang kendaraan semut kembali ke Blok I.  Lepidoptera dan Giri mengikuti dari atas. Alif bersyukur mereka taat.  Harum dan Zahra serta si kembar akhirnya ikut juga dengan kendaraan semut.

                                                                                    ****

Malam.  Alif bercakap-cakap dengan Anis di teras Masjid Blok I sehabis Salat Mahgrib. 

“Beberapa mereka pernah ke luar Kak Alif.  Kalau tidak mengapa saya dan Harum bisa ke mari? Bagaimana kau dibawa masuk?  Kalau kebal penyakit, mereka kebal.  Makanan di sini mempertinggi daya tahan.  Apa kamu tidak menyadari bahwa kamu tidak pernah sakit?  Pak Nanang dan kawan-kawan sudah menghitung semua.  Bahkan kalau manusia di luar sana musnah!”

Alif tertengun.  Dia sama sekali tidak memperhitungkan hal itu.

“Pertanyaan Kak Alif terakhir kelak akan terjawab.  Cuma logika saja.  Mereka setidaknya generasi pertama sudah biasa hidup tanpa orangtua.  Lalu anak-anak mereka diasuh bersama.  Jadi semua warga di sini adalah keluarganya.  Bukankah Kak Alif sendiri pernah menulis di majalah kampus soal masyarakat bisa menjadi keluarga besar? Bukankah Kak Alif menulis bahwa beberapa suku asli di Indonesia juga tinggal bersama? Bukankah sebuah desa dulunya sebuah keluarga? Setidaknya dalam tanda kutip. Tuh, Harum pengagum kamu mengklippingnya.  Lalu dia menganalisanya dan membuat pandangannya sendiri.”

“Harum pernah berbicara apakah laki-laki itu harus menjadi imam atau dua subyek merdeka?” Alif khawatir.

“Ha...ha..ha..ha..” Anis tergelak.  “Kamu tebak sendiri.  Saya tidak peduli saya jadi imam atau kami adalah dua subyek merdeka.  Yang penting kalau saya membutuhkannya dia hadir dan ketika dia membutuhkan saya, saya pun hadir…”

“Kalau semua perempuan di sini bersikap demikian.  Mengapa Zahra menganggap saya imamnya? Tetapi kalau saya imamnya, dia tidak selalu menurut, kecuali kalau saya mengeras.”

“Iyaaa... itu kan karena Zahranya yang mau.  Itu pilihan dia. Koloni membebaskan warganya mau seperti apa keluarganya, tetapi tetap dalam koridor sebagai spesies manusia. Tidak liar seperti spesies lainnya. Kan kamu sendiri menulis bahwa yang membedakan species manusia dan hewan hanya apa yang disebut nurani dan tentunya aturan.  Tahu nggak, ketika Kang Alif belum di sini dan foto kecil kamu dibawa-bawanya sejak ia kanak-kanak diperlihatkan ke semua orang.  Ini pangeranku, ini imamku, ketika kami datang, Harum sampai bosan ditanya terus karena mengaku kenal kamu. Dia berjanji kalau kamu kemari dia akan jadikan kamu sebagai imamnya dan akan berupaya kamu tetap di sini.  Para tetua akhirnya luluh dan rupanya keinginannya terkabulkan. ”

“Caranya?”  Tetapi Alif tidak terlalu ingin tahu.  Akhirnya mengapa Zahra tidak ingin dia meninggalkan koloni dan berupaya berbagai macam cara agar dia tetap lengket dengannya.  Bidadarinya itu tak habis-habisnya punya bahan untuk ngobrol, bermain hingga meledakan fantasi seksualnya dengan piawai…

 

Anis tidak menjawab.   Alif tidak perlu lagi mencari tahu. Dia sudah menemukan kebahagian di sini. Tiga anaknya Lepi, Euca dan Actie mengelinginya.  Bahkan Euca memberikan medali semut merah dan Actie medali semut hitam padanya, tanda lulus dasar kepanduan semut awal.  Dia meraba medali dari kayu yang diukir dengan apik.

“Kami cinta ayah,” Euca mencium pipinya.

(BERSAMBUNG)

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun