Tiga pejabat dan tiga teks yang dibaca.Â
Miris, meski hati saya mencoba untuk memahami, mungkin beliau-beliau sedang sibuk hingga sekedar sambutan singkat harus dengan teks yang ditulis oleh orang lain.
Tapi ada juga dalam sisi pikiran saya yang lain yang berbicara, bahwa ketika pejabat hanya sekedar membacakan naskah pidato yang disusun oleh staffnya, maka pejabat itu tentu hanya sekedar membaca, mengeja bait demi bait kata dalam kalimat yang menyusun paragraf tanpa tahu konsekuensi ataupun makna mendalam tentang apa yang sedang dilontarkan ke publik.
Semuanya saya pikir berawal dari kebiasaan membaca pejabat publik yang bisa jadi saat ini semakin berkurang. Sebab apa yang akan dituang dari sebuah ceret, ketika ceret itu sendiri kosong. Sama halnya dengan apa yang akan dikatakan ke publik, jika memahami topik saja tidak, tentu perbendaharaan kata dan kalimatnya menjadi tercekat.
Pentingnya Literasi
Segala tindak-tanduk, baik dari lisan maupun perbuatan, apalagi kebijakan yang akan berdampak luas, seharusnya lahir dari proses analisa yang matang.Â
Pejabat publik bukan hanya pemegang jabatan, melainkan pengemban amanah yang harus bertindak dengan ilmu, akhlak, dan tanggung jawab sosial.
Pola pikir analitis seorang pejabat tentu dipengaruhi oleh seberapa luas perbendaharaan wawasannya. Wawasan yang kaya tidak hanya memperkaya kata-kata, tetapi juga menuntun pada kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Di sisi lain, rendahnya budaya membaca di Indonesia memperburuk keadaan. Data UNESCO (2016) menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001, artinya, dari 1.000 orang, hanya 1 yang benar-benar gemar membaca.Â
Jika rakyatnya saja demikian, lalu bagaimana dengan para pejabatnya? Tak heran bila banyak pidato terdengar datar, hanya sekadar membacakan teks yang disusun staf, tanpa daya gugah, tanpa visi yang kuat.