Padahal publik pernah merasakan bedanya. Bung Karno, misalnya, dengan pidato-pidatonya yang lahir dari penghayatan mampu menggetarkan rakyat, bukan sekadar membacakan naskah.Â
Pidato pemimpin yang baik bukan soal retorika indah, tapi tentang kemampuan menghubungkan kebijakan dengan hati rakyat.
Di era sekarang, kita juga sering melihat contohnya. Ada pejabat yang viral karena salah menyebut istilah, atau bahkan salah membaca data.Â
Sekilas mungkin terlihat sepele, tapi di mata publik itu mencerminkan kurangnya kesiapan. Sebaliknya, ada juga pejabat yang disanjung karena pidatonya mampu menyentuh hati, meski tanpa teks panjang. Publik lebih mudah percaya ketika melihat pemimpinnya berbicara dengan penghayatan, bukan sekadar mengeja huruf.
Saya sering membayangkan, bagaimana kalau setiap keputusan pejabat itu diperlakukan sama seperti ujian di kelas. Kalau siswa salah menjawab soal, nilainya turun.Â
Tapi kalau pejabat salah membuat kebijakan, yang jatuh nilainya bukan dia seorang, melainkan rakyat yang harus menanggung. Di sinilah letak beratnya tanggung jawab pejabat. Bukan hanya soal kursi dan jabatan, melainkan soal kehidupan banyak orang.
Karena itu, pejabat publik mestinya menyadari bahwa setiap kata yang keluar adalah cermin wawasannya sekaligus arah kebijakan yang akan ditempuh.Â
Membaca, mendengar, dan memahami bukan sekadar aktivitas pribadi, melainkan tanggung jawab moral. Sebab, bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa menuntun rakyat, bila dirinya sendiri tidak ditempa oleh bacaan dan pemahaman yang luas?
Pada akhirnya, pejabat yang membaca tanpa memahami hanyalah corong, bukan pemimpin. Rakyat membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar hadir secara fisik, tetapi juga hadir dengan pikiran dan hati.Â
Di sinilah letak pentingnya literasi pejabat publik, karena kepemimpinan yang lahir dari bacaan dan pemahaman akan selalu lebih kokoh dibanding kepemimpinan yang hanya mengandalkan teks buatan orang lain.
Waktunya Berbenah