Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Guru dalam Middle Income Trap

2 Maret 2024   21:23 Diperbarui: 4 Maret 2024   07:30 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: HERYUNANTO untuk KOMPAS.id

Saya pernah berseloroh dengan teman, "gaji naik juga sama aja, barang-barang pasti ikut naik". Nah, ternyata benar kan, belum juga gaji naik, harga-harga sudah pada naik. 

Naiknya harga-harga seperti beras, telur, bahkan kabar akan kenaikan harga bahan bakar seperti pertalite akhir-akhir ini menjadi perhatian kami dalam mengelola keuangan keluarga. Saya sering berdiskusi dengan istri, mengingatkannya untuk bijak dalam pengeluaran, "Dek, kalau memungkinkan, ada uang yang disimpan dari gajian ini ya"

Kami pun memutuskan untuk menerapkan sistem "dompet harian". Kami membeli dompet khusus yang terdiri dari 31 saku, masing-masing diberi label angka satu hingga tiga puluh satu, melambangkan jumlah hari dalam satu bulan.

Saya meminta istri untuk membagi gaji bulanan dengan bijaksana, mengalokasikan dana untuk berbagai kebutuhan selama satu bulan ke depan. Misalnya, pada tanggal 1, kami memperkirakan pengeluaran untuk membeli beras sebesar 160 ribu rupiah, belut 60 ribu rupiah, dan bumbu dapur sebesar 50 ribu rupiah.

Jumlah totalnya, yakni 270 ribu rupiah, kemudian dimasukkan ke saku yang bertuliskan tanggal satu. Proses ini kami lakukan untuk setiap hari dalam bulan tersebut.

Meskipun membutuhkan disiplin ekstra, kami percaya pada sistem ini sebagai upaya untuk mengelola keuangan keluarga dengan lebih baik.


Sebagai seorang guru PNS, status sosial saya mungkin terlihat cukup tinggi di masyarakat, terutama saat saya terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Namun, secara finansial, kami sadar bahwa pendapatan sebagai seorang guru ternyata masih tergolong dalam kelas menengah.

Banyak dari rekan seprofesi saya juga mengalami tantangan serupa. Sulit untuk mencapai kestabilan ekonomi karena pendapatan dan pengeluaran hampir selalu seimbang, membuat menabung menjadi sesuatu yang sulit dilakukan.

Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman dan pandangan sebagai seorang guru PNS yang berada dalam kelas menengah, yang seringkali menghadapi tekanan finansial namun tetap berusaha menjalani kehidupan dengan bijak.

Harga Naik Gaji Tetap, Gaji Naik Harga Naik

Mending gak usah ada isu soal kenaikan gaji, sebab hanya sebatas wacana tentang gaji naik saja sudah mampu mengerek harga-harga untuk naik. 

Tidak bisa dipungkiri, saat ini kita melihat berbagai alasan kenaikan harga-harga, yang terus terjadi ketika gaji mulai naik. Ini seperti sebuah ironi bukan?

Sebagai contoh, saya pernah bercanda dengan seorang teman, "Naiknya gaji ya sama saja, karena harga-harga juga ikut naik." Dan betapa lucunya, tidak lama dari candaan tersebut tiba-tiba istri melaporkan bahwa meskipun gaji bulan Februari belum naik, harga-harga sudah merangkak naik duluan, wah-wah..

Hari itu, ketika saya mengantar istri untuk berbelanja kebutuhan pokok, saya kaget melihat harga-harga barang sudah melonjak naik, termasuk beras yang langka dan harganya pun naik, begitu juga dengan telur, semuanya naik pokoknya. Padahal saat itu gaji belum naik loh, harga sudah naik duluan.

Jadi, meskipun gaji naik, tapi jika harga-harga juga naik, hasilnya jadi impas bukan? Mari kita buat sebuah simulasi. Misalnya, dalam satu bulan, kami membutuhkan 20 kg beras, dengan harga sebelum naik sekitar 13 ribu 800 rupiah per kilogram, sehingga total belanja bulanan sekitar 276 ribu rupiah.

Sekarang, bandingkan dengan harga saat ini, misalnya 16 ribu rupiah per kilogram, berarti total yang harus kami keluarkan menjadi sekitar 320 ribu rupiah per bulan. 

Jadi, selisih harga beras sebelum dan setelah kenaikan sekarang sekitar 44 ribu rupiah. Jika dihitung dalam persentase, kenaikan harga beras saat ini mencapai sekitar 15,94 persen. Sungguh luar biasa, bukan?

Sementara itu, kenaikan gaji saat ini hanya sekitar 8 persen. Nah, bisa dilihat kan? Gaji naik, harga naik, bahkan kenaikan harga melebihi kenaikan gaji. 

Begitulah polanya, yang pada akhirnya membuat PNS guru tetap berada di kelas menengah. Jadi, bisa dibilang, kenaikan gaji dan kenaikan harga itu seperti satu paket yang tak terpisahkan.

Setiap Daerah Tak Sama

Pada beberapa kota besar dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi, kenaikan harga-harga barang mungkin dianggap sebagai hal yang biasa, sebab PAD yang tinggi berarti imbal balik yang diberikan kepada PNS di daerah tersebut juga cukup besar.

Namun, di daerah tempat saya tinggal, situasinya tidak demikian. Di sini, kontribusi pajak dari berbagai usaha tidak sebanyak di kota-kota besar lainnya. Sebagian besar gaji PNS di daerah ini bergantung pada pemerintah pusat.

Saya pernah mendengar cerita dari beberapa guru dan staf Tata Usaha (TU) di salah satu sekolah di ibu kota negara kita. Mereka menerima insentif yang fantastis, setara dengan harga satu motor baru. Hal ini wajar karena PAD di sana pasti tinggi dengan kontribusi besar dari berbagai sektor usaha.

Meskipun tidak semua guru PNS berada di ambang kelas menengah, kebanyakan masih berada pada level tersebut. Bukti nyatanya adalah banyaknya guru yang terjebak dalam pinjaman online.

Tanpa insentif lain selain gaji, guru akan sulit untuk menabung. Akibatnya, kebanyakan dari kita tetap berada di kelas menengah, dengan harapan naik kelas yang agak ngap-ngap pan.

Mau kelola apa?

Awal-awal saya meminta untuk menggunakan mode "dompet" dalam pengelolaan keuangan, istri saya setengah protes. Dengan sabar, istri saya bertanya, "La, yang mau direncanakan apa, Yah?

Saya akhirnya menyadari bahwa mengatur gaji agar pas dengan pengeluaran memang agak sulit. Untungnya, istri saya juga seorang guru PNS, sehingga beban tersebut tidak terlalu berat.

Secara keseluruhan, bisa dibilang situasinya impas. Gaji naik, tapi kebutuhan juga ikut naik. Namun, masalahnya adalah kebutuhan seringkali melonjak tinggi sekali, sementara gaji jarang naik seiring dengan kenaikan kebutuhan.

Maka wajar jika akhirnya istri saya sering berkata, "La, yang mau dikelola apa?", yang sebenarnya merupakan candaan, namun tetap diucapkan dengan rasa syukur atas apa yang kami miliki. Sebab tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama, bahkan banyak yang berlomba-lomba untuk tetap menjadi seorang guru lo, maka tetap kita syukuri.

Insentif yang besar biasanya hanya diperoleh oleh guru yang bertugas di daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar pula.

Maka wajar jika terkadang kita bingung tentang apa yang harus dikelola, direncanakan, dan ditabung, karena cukup sulit memenuhi berbagai kebutuhan dengan gaji yang pas-pasan.

Bingung Golongan Miskin atau Kaya

Apakah ada yang percaya bahwa ada PNS yang juga tidak mampu dan membutuhkan bantuan? Kami tidak akan mungkin dikelompokkan sebagai golongan perekonomian di bawah, namun jarang yang melihat kami sebagai golongan menengah. 

Pikiran-pikiran seperti ini seringkali menghampiri saya dalam keheningan, ketika saya menikmati secangkir kopi di pagi hari sendirian, atau bahkan saat berkendara sendirian.

Mungkin terdengar agak berlebihan, tapi saya sering memikirkan masa depan beberapa tahun ke depan, ketika kedua anak kami akan memasuki fase studi lanjut, yaitu kuliah. Meskipun masih jauh, tapi saya sudah mulai mempersiapkannya dari sekarang.

Konon kabarnya, masalah UKT (uang kuliah tunggal) ini ditentukan berdasarkan jumlah total pendapatan kotor dari ayah dan ibu. Bagi seorang PNS, sulit untuk menghindarinya, karena catatan gaji resmi tertera dalam slip gaji. 

Namun, cerita berbeda saya dengar dari salah satu murid yang kuliah di salah satu kampus negeri ternama di tanah air.

Dia sangat beruntung karena dimasukkan ke dalam golongan UKT bagi keluarga kelas menengah ke bawah. Hal ini karena dalam formulir pendaftaran, pekerjaan ayahnya terdaftar sebagai salah satu profesi yang tidak memiliki slip gaji yang jelas. 

Meskipun pekerjaan yang terdaftar sesuai dengan kenyataan, namun karena tidak ada bukti pendapatan tetap, maka dia dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan.

Berbeda dengan kami, kebingungan seringkali muncul, banyak yang menganggap kami adalah golongan mampu yang tidak perlu mendapatkan bantuan,  padahal kadang besaran sisa gaji membuat kami rentan menjadi kelas menengah ke bawah. 

Untuk berbagai urusan pembayaran, orang-orang sering menganggap kami berasal dari perekonomian kelas atas.

Pernah suatu ketika, karena syarat keringanan adalah surat keterangan tidak mampu, seorang rekan saya akhirnya menahan diri untuk meminta surat tersebut kepada kelurahan. Dia berkata, "Mungkin kelurahan tidak akan memberikan saya surat keterangan tidak mampu, karena saya seorang PNS."

Ini merupakan dilema yang membuat kami bingung, harus memilih kelompok mana, kelompok miskin bukan, kaya bukan, tapi masalah pembiayaan contoh UKT, tetap kami dianggap sebagai golongan elit kelas atas, padahal lo nyatanya berdasarkan besaran gaji guru PNS masuk pada kelas menengah. Akhirnya, mungkin lebih baik kita semua memilih kelompok yang penuh dengan rasa syukur, hehe.

Dari Gaji ke Gaji

Saya selalu teringat dengan ucapan salah satu pakar ekonomi yang mengatakan, 'kalau Anda hidup dari gaji ke gaji, maka bersiaplah untuk menjadi miskin', CMIIW (Correct Me If I'm Wrong) ya. 

Ini memang terkait dengan kehidupan kami, dan mungkin juga dengan banyak teman-teman PNS lainnya. Hidup dari gaji ke gaji artinya jarang atau bahkan mungkin tidak ada penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan setiap bulannya, kecuali hanya dengan gaji.

Namun, ini hanya berlaku untuk PNS tertentu ya, seperti guru contohnya, jadi tidak bisa disamakan dengan semua PNS, karena beberapa PNS lain sepertinya tidak merasakan menjadi kelas menengah.

Terlebih bagi PNS guru tanpa sertifikasi, ini pasti dirasakan dengan sangat nyata. Bahkan bagi mereka yang sudah memiliki sertifikasi saja kadang rasanya masih sulit memenuhi kebutuhan bulanan rumah tangga, terutama dengan lebih dari dua anak yang harus ditanggung.

Gaji dan kebutuhan seperti skor pertandingan, saling berlomba, saling melampaui satu sama lain. Jadi, gajian bulan ini ya hanya cukup untuk bulan ini saja.

Waduh, kalau begini, bagaimana mungkin bisa menabung? Rasanya ngap-ngapan lo mengejar keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran setiap bulan.

Terjebak Dalam Berbagai Kebutuhan

Yah, sepertinya sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa gaji selalu mengiringi kebutuhan. Dulu, saat masih memiliki gaji pas-pasan (belum tetap), rasanya cukup-cukup saja. Tetapi ketika gaji naik sedikit, tiba-tiba kebutuhan juga ikut bertambah. 

Memang, ini memang agak merepotkan. Gaji naik, tapi kebutuhan juga ikut naik. Rasanya kita selalu harus menyesuaikan diri.

Dulu, saat belum memiliki pendapatan tetap, sulit untuk membayangkan bisa memenuhi berbagai kebutuhan seperti langganan internet, pulsa pra bayar, Netflix, video, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sekarang, ketika kami berdua memiliki pendapatan tetap, selera juga menjadi lebih bervariasi.

Dulu, bahkan memikirkan untuk kuliah atau membeli motor saja terasa sulit. Membeli mobil? Hanya bisa memimpikan. Namun sekarang, seolah-olah semuanya menjadi kebutuhan.

Kita butuh internet, butuh mobil, butuh pulsa prabayar, butuh tayangan hiburan, dan butuh pendidikan lanjutan. Padahal, kenaikan gaji tidak begitu signifikan.

Akhirnya, dengan gaji skala menengah ke bawah, rasanya seperti skor kacamata, kosong kosong, pendapatan dikurangi kebutuhan sama dengan kosong alias gak ada yang bisa ditabung. 

Namun, Alhamdulillah, kita patut bersyukur bahwa gaji tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder.

Biaya Pendidikan Juga mahal

Memang kita memilih untuk menyekolahkan anak-anak di sekolah yang berbasis keagamaan, namun tentu saja ini berarti biaya yang harus dikeluarkan cukup tinggi. Meskipun begitu, saya melihat ini sebagai investasi untuk masa depan mereka, walau harus merogoh kocek yang cukup dalam.

Saya dan istri sama-sama merupakan guru, dan tentu saja kita tidak akan sembarangan dalam memilih pendidikan untuk anak-anak. 'Ono Rupo Ono Rego', begitulah jargon yang sering digunakan oleh orang Jawa, yang artinya ada harga ada kualitas.

Menyekolahkan dua anak sekaligus di sekolah swasta memang menguras, apalagi dengan istri yang juga sedang menempuh pendidikan saat ini. 

Tetapi, saya yakin bahwa ini adalah investasi yang penting untuk masa depan gemilang mereka. Namun, tentu saja hal ini mengurangi porsi dari pendapatan kita.

Akhirnya, sisa dari gaji tinggal sedikit, dan itulah yang membuat kita terperangkap dalam kelas menengah. Strata sosial yang terkesan tinggi, dengan berbagai alternatif pilihan yang berbiaya tinggi, tapi gaji tetap tidak berubah.

Namun, saya merasa cukup dengan situasi ini. Kebutuhan primer dan sekunder tetap terpenuhi dan cukup. Jika ingin memiliki lebih banyak sisa, maka kita harus benar-benar irit dan mungkin harus memangkas beberapa pengeluaran yang ada.

Wasana Kata

Kami harus bijak dalam mengelola uang dalam situasi yang terbatas untuk meraih masa depan yang gemilang.

Pada akhirnya, kami terjebak dalam Middle Income Trap alias sulit untuk maju, karena sulit untuk menabung, sulit untuk menyisihkan. 

Sebab, tidak sebanding antara besaran kebutuhan primer dan sekunder dengan pendapatan per bulan. Seperti yang dikatakan oleh Kompas, kaya tidak, miskin tidak, pokoknya cukup saja untuk kebutuhan harian ataupun bulanan.

Lalu bagaimana lagi, gaji naik harga-harga otomatis naik, dan kenaikan gaji tidak sebanding dengan kenaikan harga. Bahkan, terkadang harga naik sedangkan gaji tidak mengikuti.

Mau berharap ada insentif lain, namun untuk di daerah kami, itu masih belum seperti di daerah kota besar lainnya seperti ibu kota negara. Itu wajar, karena pendapatan asli daerahnya juga berbeda, dan mau tidak mau kami harus hemat.

Rezeki itu sudah tertakar dan tidak akan tertukar, dan semuanya tetap kita syukuri. Selain bersyukur, tentu saja kami juga harus bijak dalam mengelola keuangan, harus bisa menyeimbangkan antara pendapatan dan pengeluaran, jangan sampai besar pasak daripada tiang. 

Beberapa hal yang kami lakukan agar tetap seimbang antara pendapatan dan pengeluaran bagi kaum dengan pendapatan kelas menengah ini adalah dengan cara memberdayagunakan pendapatan semaksimal mungkin dengan efisien dan efektif.

Kami memilih untuk menggunakan sistem cashless. Dengan tidak menggunakan uang tunai, kami bisa melihat riwayat transaksi dan saldo yang dimiliki, sehingga kami bisa lebih bijaksana dalam mengatur pengeluaran. 

Kami juga berusaha untuk tidak berhutang dan tidak mengikuti arisan. Hal ini dilakukan karena kami sadar sebagai kaum menengah, bahwa lebih baik hidup dengan apa adanya daripada hidup dalam beban hutang yang mengganggu kestabilan perekonomian keluarga dan mental kami.

Terakhir, kami selalu menabung dan mencari pendapatan sampingan lain. Menabung tentu saja penting, dan istri saya biasanya menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabung dalam bentuk logam mulia sebagai bentuk tabungan jangka panjang. 

Sedangkan saya, kadang mencoba-coba berbagai hal, seperti bercocok tanam atau mencoba berinvestasi setelah sebelumnya mengalami kegagalan di pasar forex dan kripto.

Intinya, hidup harus tetap berjalan, dan anak-anak harus tetap mendapatkan hak mereka, baik dalam hal hidup layak maupun pendidikan yang layak. 

Tetap bertahan dalam posisi kelas menengah, mempertahankan kehidupan dengan pengelolaan keuangan secara bijak, syukur-syukur bisa melaju menjadi perekonomian kelas atas, aamiin. 

Yuk banyak-banyak bersyukur.

Sumber:

  • 1, 2, 3
  • PERAN KELUARGA KELAS MENENGAH DALAM PEMBELAJARAN JARAK JAUH DI ERA PANDEMI COVID-19; Septi Kuntari & Nurul Hidayanti Universitas Sultan Ageng Tirtayasa septikuntari@untirta.ac.id , hidayanti1405@gmail.com; EDISI : Jurnal Edukasi dan Sains Volume 3, Nomor 1, Juni 2021; 159-168 https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun