Mohon tunggu...
SIAHAAN JUNIOR TERNAMA
SIAHAAN JUNIOR TERNAMA Mohon Tunggu... Freelancer - aku adalah Tanah

Baca dengan mata/rasa dengan pikiran/karena aku adalah tanah yang mendambakan bacaan dan tulisan/ karya sastra sebagai bumbu kehidupan///Onesimus

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perjumpaan dengan Gadis Jawa

23 Agustus 2018   12:22 Diperbarui: 23 Agustus 2018   12:23 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dear Pembaca Budiman

Dengan demikian aku pun mengakui bahwa aku manusia lemah tak berdaya. Sepanjang perjalanan aku duduk termangu di bagian pojok kiri kursi belakang Bus itu. Rutinitas menuntut berada di dalam Bus bersama orang-orang yang tak mengenalku. Kusiramkan senyum serta sapa hangat dari lidahku.

Aku tak berdaya seketika ingatan visionerku memeluk pikiran dan perasaanku. Jatuh cinta dan rasa bahagia kemarin pun menjadi rival dengan rasa takut manusiawi yang kumiliki. Dalam perjalanan pulang itu kupikirkan tentangku dan kamu serta hubungan antara kedua keluarga yang kelak akan dihubungkan oleh ikatan tali melebihi cinta sepasang kekasih.

Ramainya jalanan kota Jogja menjadi pemandangan mata, plat motor dan mobil serta kendaraan pribadi lainnya melewati Bus yang kunaiki menjadi gambaran istimewa dalam imajinasi untuk setiap pembaca. Mereka datang ke sini bersama Keluarga dan sanak saudara menemui handai taulan sekaligus berwisata menregangkan urat-urat kaku keluar dari ruang kerja. Dari udara terdengar desing suara raksasa, berganti-gantian menuju aspal pendaratan di Timur kota. Di dalamnya ada jiwa-jiwa yang baru saja pulang atau pun sampai di tujuan menemui cinta dan duka.

Kepalaku menyibakkan berbagai rayuan dan impian. Hatiku cemburu liar bercampur benci secara wajar. Bertanya sekaligus menampar pipi hingga memerah, "kapan kah aku dapat pulang melihat Handai taulan?" batinku sebenarnya luluh lantah, aku terjebak dengan cahaya putih bersinar, dan dukaku ini pun hanya berakhir sampai di kertas putih menjadi tulisan-tulisan tak berbobot ketika dinikmati pembaca yang budiman menyempatkan waktu secara seimbang mengunjungi ruang gelap siang. Ingin kukatakan kepada sesosok manusia, namun kubimbang, aku akan membuat bidikkan mereka bertambah bahkan semakin kacau.

Kupendam sedemikian rupa, nanti akan kusampaikan kepada udara. Biar dia yang membawa terbang ke tempatku bercita-cita. Namaku Nama, jujur kalau engkau tanya apa cita-citaku, sederhana saja. Aku ingin membawa Ibu dan Ayahku ke pelataran halaman Bandara tak jauh dari kami punya kediamaan atau rumah. Setiap kuingat kata-kata Ibu, "Nak, kita nanti sama-sama pergi ke Bandara ya, melihat pesawat udara dan menikmati masakan lezat bersama."

Dua tahun aku pergi meninggalkan Desa yang kucinta, dengan moto yang masih sama, "alani pogos do au lao tu tano parserakan" bersambung ke cerita selanjutnya. Dengan gadis dahulu, aku hanya sanggup membawanya berkeliling kota sejarah Pematangsiantar, di dalam angkot (angkutan kota) dan berdiri di kaki sendiri, ya berdikari tepatnya kata Ir. Soekarno. 

Berandai-andai bersama, sekejab setelah tali kasih menua tiga tahun, aku menghilang tanpa kabar, sayangku masih sama. Hanya saja ada beberapa kekalahan yang membuatku terbuai dan melemah. Akhirnya langkah Gadis itu tak jauh dari analisa, ya aku diputuskan tanpa sepatah kata pun lidahku meminta kesempatan untuk menjelaskan. Dari sana tercipta banyak karangan yang sebagian benar urutannya, sulit memaknainya, skeptis untuk orang-orang yang buta tulisan sastra.

Di dalam Bus ini pun masih bertarung pikiran dengan hatiku. Bagaimana pula aku akan sowan ke rumahmu (istana Keluarga Jawa), menemui Ayah, Ibu, serta adikmu. Terbang pun aku tak punya sayap sekuat sayap Burung Hantu.  

Waduh sembilu menusuk menyayat pendirian, mengombang-ambingkan tujuan. Malam kenapa tidak mau ketemu dengan siang? Seandainya kalian berandai-andai akan bersahabat, bukankah akan lebih nikmat?

Kelak aku akan melepas semua atribut seragam kegagahan. Mendatangimu perlahan dan dengan tenang untuk mengatakan beberapa kesepahaman. Bahwa aku perlu datang sowan beradab ke Istana kediamanmu dalam keadaan telanjang. Ketelanjangan akan meyakinkan Ayah dan Ibumu dalam menerima sosok pria waras sepertiku. Di sana aku akan mengungkapkan bukan hanya kepadamu, juga kepada Adik, Ayah dan Ibumu bahwa aku ini laki-laki yang mencintaimu telah hilang malu dan penuh percaya diri melamarmu dengan cincin peninggalan Nenek dan Kakek moyangku. Bersama-sama kita saksikan dua kebudayaan menjadi satu dalam senyum kebahagiaan tanpa sandiwara yang menegangkan otot, pikiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun