Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Perjalanan Cinta

1 Desember 2017   22:22 Diperbarui: 1 Desember 2017   22:34 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Primadona kampus. Tidak berlebihan jika sebutan ini saya berikan pada ibu dari anak-anak saya, mantan pacar saya yang harus putus pada 11 November 2014 lalu karena Ia terlebih dahulu dipanggil oleh-Nya. Pertemuan tak disengaja pada acara perkemahan pramuka yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa & mahasiswi D2 Jurusan Bahasa Universitas Muhammadiyah Surakarta 1988 lalu. 

Kebetulan ketika itu, saya yang sebagai aktivis pers di kampus mendapat tugas untuk meliput acara tersebut yang berlokasi di Bumi Perkemahan Candi Sukuh, Karanganyar. Malam itu, syahdu dan dinginnya kawasan candi Sukuh membuat saya dan salah seorang pembina senior berkeliling dari kemah ke kemah untuk mencari inspirasi catatan ringan bakal bahan tulisan untuk media kampus.

Hitam manis, pendiam dengan senyum tipis yang teramat manis. Ia menyambut kami di salah satu kemah mahasiswi D2 Bahasa Indonesia. Identitas sebagai aktivis senior di kampus, membuat keakraban dengan seisi kemah mudah terjalin. Keceriaan sambil diselingi gelak tawa kerapkali terjadi. Namun tidak bagi seorang dara hitam manis yang telah mencuri perhatian saya dari awal. 

Ia hanya sesekali tersenyum. Tipis namun cukup membuat jantung saya berdebar. Duh gusti ada apa ini?. Sebelumnya jujur saja, saya terkenal sebagai playboy kampus karena seringkali gonta-ganti pacar versi cinta monyet. Namun baru kali itu, saya merasa kelimpungan salah tingkah hanya karena semburat senyum tipis yang tersungging beberapa kali di depan mata ini.

Teman di sebelahnya, junior cewek yang sudah akrab dengan saya sebelumnya, tiba-tiba meminta saya menemaninya ke rumah penduduk terdekat untuk meminjam selimut. Rendahnya suhu daerah pegunungan membuat sebagian besar peserta kemah yang minim persiapan menggigil kedinginan. Sebagai senior yang merasa bertanggung jawab saya antar mereka menuju rumah penduduk. 

Kami pergi berempat. Saya, pembina senior teman saya, junior tadi, dan si dia. Ya, gadis tadi yang dalam sekejap telah mencuri perhatian saya. Kebetulan sekali, pucuk dicinta ulam tiba, pikir saya. Sembari berjalan menyusuri dingin, saya mulai memecah sunyi dengan basa-basi pertanyaan ringan kepadanya. Siapa namanya, asalnya, hobinya, namun sial Ia hanya menjawab sepatah dua patah kata singkat saja.


Jarak antara lokasi perkemahan dengan rumah penduduk sekitar 500 meter, tidak banyak informasi yang saya dapatkan. Singkat cerita selimut telah kami dapatkan dan karena sudah terlalu larut, kami bergegas kembali ke perkemahan karena acara api unggun akan segera dimulai. Masih sedikit memaksakan perjuangan, saya tawarkan padanya pertemuan esok pagi untuk menemaninya mengikuti rangkaian olahraga pagi. 

Diluar dugaan, Ia menyetujuinya dengan anggukan dan senyum. Kami berpisah kembali ke kemah masing-masing. Meriahnya acara api unggun tidak bisa saya nikmati. Pikiran mulai melayang kemana-mana. Belum pernah terpikir sebalumnya tentang wanita ideal yang akan mendampingi saya kelak, tapi kemunculannya malam ini jadi mengusik saya berfikir tentang hal itu. Gejala apa ini? Duh!

Tidur tak lagi saya rasa perlu saat itu. Seringkali saya terjaga dan menggerutu; "Kenapa paginya lama sekali......?" Begitu adzan subuh berkumandang, saya segera bergegas ke masjid kampung untuk sholat berjamaah. Setelahnya saya bergegas berganti pakaian dan menyambangi kemah si gadis semalam. Seisi kemah sudah siap dengan pakaian olahraganya masing-masing. 

Dibawah arahan pembina kami berjalan beriringan secara teratur dalam barisan yang santai namun rapi. Saya dengan sangat percaya diri berjalan disamping sang pujaan hati. Pembina senior yang kebetulan adalah sohib akrab saya, mulai mengerti gelagat saya. Ia senyam-senyum melihat kedekatan kami. Sekitar dua jam lebih kami jalan pagi, diiringi obrolan ringan dan santai. Saya agak menjaga image saya dengan menahan hasrat saya untuk menggombal. Karena saya lihat gadis ini lain, dia unik, berkualitas dan mahal. Sehingga tidak bisa didekati dengan cara yang murahan.

Dua hari diperkemahan biasa-biasa saja. Kami mulai disibukkan dengan program masing-masing. Saya mulai menyusun laporan untuk majalah kampus. Tidak ada pertemuan dan kejadian istimewa lagi setelah pagi kemarin. Tiba saatnya rombongan pulang kembali ke kampus.

Keesokan harinya di kampus, dengan semangat yang berkobar penuh harap dapat bertemu lagi dengan sang gadis idaman hati. Kebetulan ruang kuliah saya berada di lantai dua, sementara ruang kuliah D2 Bahasa Indonesia berada di lantai satu sebelah barat gedung fakultas saya. 

Sesekali saya mencuri pandang dari teras menengok ke bawah. Ia kelihatan berkerumun dengan teman-temannya. Tiba saat jam istirahat, saya langsung turun mendatanginya mengajaknya ke kantin untuk mencari minum. Senang sekali ketika itu, karena komunikasi kami mulai terjalin dengan asik dan nyaman.

Keesokan harinya, di gelanggang mahasiswa para aktivis heboh bercerita heboh bahwa semalam ada dua orang mahasiswi berboncengan sepeda motor kecelakaan tertabrak truk gandeng ketika hendak menyebrang di area depan kampus. Usut punya usut ternyata salah seorang korbannya adalah gadis idaman saya! bak disambar petir di pagi hari saya mendengar berita tersebut. 

Panik dan kelimpungan saya mencari info dimana gadis itu dirawat. Tanpa banyak pertimbangan saya bolos kuliah dan segera membesuknya ke rumah sakit tempat Ia dirawat. Tampak kedua orang tuanya sudah datang. Dari ibunya saya tahu bahwa subuh tadi baru saja selesai dilakukan operasi. Tampak kaki kanannya diperban hingga betis. 

Tersadar melihat kehadiran saya Ia langsung menangis dengan suara lirih tertahan dan reflek membelakangi kami. Sangat tampak jelas jika emosinya sedang terguncang hebat. Bagaimana tidak? Kaki kanannya terlindas roda truk, dan Ia pingsan saat kejadian. Begitu tersadar Ia telah berada di rumah sakit dengan luka yang sangat serius. 

Menjelang siang satu demi satu teman kuliahnya berdatangan membuat saya harus pamit pulang. Sempat berpamitan dengannya namun Ia tetap bungkam dan tidak mau melihat ke arah saya. Saya berjanji kepada orang tuanya untuk kembali menjeguk esok harinya.

Malam ketiga setelah kecelakaan, saya dengan beberapa teman dari pondok datang berkunjung lagi ke rumah sakit. Dari ibunya kami peroleh cerita jika anaknya belum mau berinteraksi dengan siapapun. Kesehariannya hanya merenung dan menangis. Kami berusaha keras untuk menghibur. Sesekali Ia tersenyum yang membuat kami lega melihatnya. Waktu besuk telah habis dan kami pamit pulang. Alhamdulillah mulai terucap lemah ucapan terima kasih atas kedatangan kami.

Kondisi kaki kanan yang cukup parah, kulit kaki hingga tumit terkelupas dagingnya. Tertinggal hanya tulang. Operasi pertama dokter menyayat kulit pahanya untuk kemudian dicangkok sebagai kulit kaki. Praktis perawatannya menjadi sangat berat; mandi, buang air kecil dan besar terpaksa dilakukan di tempat tidur. Kondisi seperti itu berlangsung lama. 

Hampir tiga bulan dengan tiga kali operasi, belum lagi masa pemulihannya yang juga memakan waktu sangat lama. Sekembalinya ke rumah, Ia masih belum bisa berjalan sendiri. Kesehariannya dibantu oleh kedua kruk di tangannya. Namun lambat laun berkat kegigihannya, Ia dapat berjalan dengan baik layaknya orang normal dan sama sekali tidak pincang.

Semenjak Ia kecelakaan, saya merasa iba namun rasa sayang terhadapnya tidak pudar. Kondisinya tidak membuat saya berhenti berjuang mendapatkannya. Saya sering menyelinap dan memanjat tembok pondok untuk datang kerumah sakit malam-malam. Ibunya seringkali menungguinya seorang diri dan meminta saya untuk menemani beliau. 

Selama menemaninya di rumah sakit, saya mendadak berprofesi sebagai psikolog amatiran untuk mensupportnya supaya bangkit dan menerima kondisi cacat fisiknya sebagai takdir yang harus diikhlaskan. Tidak mudah memang, ketika traumanya datang dia berdoa untuk sesegera mungkin dipanggil Allah. Menurutnya saat itu, mati lebih baik dari pada hidup cacat selamanya.

Memasuki bulan ketiga dirumah sakit, suasana di antara kami mulai berubah seiring dengan tumbuhnya rasa cinta dan saling percaya. Senyum manisnya mulai kelihatan lagi. Seringkali Ia meminta saya suapi makan dan minumnya. Orang tua terutama ibunya sangat senang dengan perkembangan hubungan kami. 

Satu persatu teman laki-laki yang pernah mendekatinya mulai berguguran karena mengetahui kabar sang gadis yang kecelakaan dan santer terdengar Ia cacat. Ia menyadarinya. Dan mungkin dengan kehadiran saya di kesehariannya, dia mulai melihat keseriusan saya bahwa saya benar mencintainya dengan tulus.

Di hari kepulangannya ke rumah, saya diminta orang tuanya untuk ikut mengantar pulang. Dengan berbagai alasan akhirnya saya mendapat izin keluar dari pondok. Sesampainya di rumahnya saya diperkenalkan dengan keluarga besarnya. Sebagian saudaranya telah saya kenal sebelumnya di rumah sakit sehingga membuat saya tidak terlalu canggung berada di lingkungan keluarganya.

Singkat cerita, setelah dirasa pulih, Ia pun kembali kekampus untuk mrnyesaikan studi D2 nya.

Setelah Ia lulus, hubungan kami lanjutkan dengan berkirim kabar melalui surat. Ia mulai sibuk dengan pengabdiannya di sebuah SMP negeri di wilayah Jepara dan saya sibuk menyelesaikan studi S1 saya di Solo.

Menjelang semester akhir saya menerima selembar surat dari sang pujaan hati bahwa sudah ada dua orang teman seprofesinya berniat melamarnya. Ia meminta perlindungan kepada saya karena tidak berkenan dilamar oleh kedua orang yang bersangkutan tersebut. Saya diminta datang untuk berhadapan dengan kepada kedua rival saya. 

Dengan sangat percaya diri saya katakan kepada mereka bahwa saya adalah calon suaminya. Setelah itu aman dan tidak ada gangguan lagi. Bukan sekedar isapan jempol. Saya benar-benar serius untuk menikahinya. Atas persetujuan orang tuanya, saya berinisiatif mengajaknya bersilaturrahmi ke tanah kelahiran saya, di Sumbawa. Perbedaan suku dan adat istiadat harus dituntaskan sebelum pernikahan. Jika Ia menerima kondisi keluarga saya dengan segala tradisi yang melekat, oke kami akan menikah. 

Namun jika hal tersebut memberatkannya, maka saya hargai keputusannya. Akhirnya, dengan ongkos masing-masing kami berangkat melalui jalur darat menempuh perjalanan dua hari dua malam di bus. 

Setelah berada tiga hari ditengah-tengah keluarga Sumbawa, pada malam terakhir diadakan rapat keluarga. Keluarga besar saya memutuskan untuk memberikan waktu dua bulan padanya untuk mengambil kesimpulan untuk lanjut atau tidak. Janji orang tua saya, jika Ia mengiyakan maka perwakilan keluarga akan datang ke Jepara untuk melamarnya. 

Hanya butuh waktu satu bulan jawaban yang ditunggu datang.  Ia setuju untuk dilamar dengan segala konsekuensinya. Berita baik ini saya sampaikan kepada keluarga Sumbawa. Mereka balas dengan suka cita dan setelah selesai panen mereka berjanji akan datang ke Jepara untuk melamar.

Ikatan dinas saya di pondok selesai pada 25 Juli 1990. Dua hari sebelum selesai kontrak, kakak tertua saya disertai beberapa keluarga datang melamar sang pujaan hati. Walau saya belum selesai kuliah, disepakati pernikahan berlangsung pada 27 Juli 1990. Hanya berselang dua hari setelah ikatan dinas saya berakhir.

Dengan sangat sederhana pernikahan kami terjadi. Ijab qabul disepakati bertempat di rumahnya di Jepara. Sedangkan walimatul ursy diadakan di Sumbawa dua minggu setelahnya.

Usai rangkaian ijab qabul, tidak lama berselang kami menuju ke Sumbawa untuk melakukan resepsi. Ditemani mertua dan kakak ipar, kami berangkat dengan jalur darat. Tradisi di kampung saya di Sumbawa, resepsi dilakasanakan pada malam hari di lapangan terbuka dengan ratusan undangan seolah pesta rakyat yang lengkap dengan banyak hidangan dan tentunya alunan musik dangdut yang meriah.

Tanpa berbulan madu, satu minggu setelah resepsi saya langsung mengabdi sebagai guru agama di SMA Muhammadiyah Sumbawa, tempat dimana saya menuntut ilmu sebelumnya. Dalam kondisi pas-pasan kami mengontrak satu kamar ukuran 3 x 4 yang dekat sekolah. Kemudian dimulailah kehidupan baru bergulir. Saya sangat bersyukur bisa memilikinya, seorang wanita rendah hati, yang mengerti dan mau mendamping jatuh bangun saya dalam hidup. Alhamdulillah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun