Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Perjalanan Cinta

1 Desember 2017   22:22 Diperbarui: 1 Desember 2017   22:34 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keesokan harinya di kampus, dengan semangat yang berkobar penuh harap dapat bertemu lagi dengan sang gadis idaman hati. Kebetulan ruang kuliah saya berada di lantai dua, sementara ruang kuliah D2 Bahasa Indonesia berada di lantai satu sebelah barat gedung fakultas saya. 

Sesekali saya mencuri pandang dari teras menengok ke bawah. Ia kelihatan berkerumun dengan teman-temannya. Tiba saat jam istirahat, saya langsung turun mendatanginya mengajaknya ke kantin untuk mencari minum. Senang sekali ketika itu, karena komunikasi kami mulai terjalin dengan asik dan nyaman.

Keesokan harinya, di gelanggang mahasiswa para aktivis heboh bercerita heboh bahwa semalam ada dua orang mahasiswi berboncengan sepeda motor kecelakaan tertabrak truk gandeng ketika hendak menyebrang di area depan kampus. Usut punya usut ternyata salah seorang korbannya adalah gadis idaman saya! bak disambar petir di pagi hari saya mendengar berita tersebut. 

Panik dan kelimpungan saya mencari info dimana gadis itu dirawat. Tanpa banyak pertimbangan saya bolos kuliah dan segera membesuknya ke rumah sakit tempat Ia dirawat. Tampak kedua orang tuanya sudah datang. Dari ibunya saya tahu bahwa subuh tadi baru saja selesai dilakukan operasi. Tampak kaki kanannya diperban hingga betis. 

Tersadar melihat kehadiran saya Ia langsung menangis dengan suara lirih tertahan dan reflek membelakangi kami. Sangat tampak jelas jika emosinya sedang terguncang hebat. Bagaimana tidak? Kaki kanannya terlindas roda truk, dan Ia pingsan saat kejadian. Begitu tersadar Ia telah berada di rumah sakit dengan luka yang sangat serius. 

Menjelang siang satu demi satu teman kuliahnya berdatangan membuat saya harus pamit pulang. Sempat berpamitan dengannya namun Ia tetap bungkam dan tidak mau melihat ke arah saya. Saya berjanji kepada orang tuanya untuk kembali menjeguk esok harinya.

Malam ketiga setelah kecelakaan, saya dengan beberapa teman dari pondok datang berkunjung lagi ke rumah sakit. Dari ibunya kami peroleh cerita jika anaknya belum mau berinteraksi dengan siapapun. Kesehariannya hanya merenung dan menangis. Kami berusaha keras untuk menghibur. Sesekali Ia tersenyum yang membuat kami lega melihatnya. Waktu besuk telah habis dan kami pamit pulang. Alhamdulillah mulai terucap lemah ucapan terima kasih atas kedatangan kami.

Kondisi kaki kanan yang cukup parah, kulit kaki hingga tumit terkelupas dagingnya. Tertinggal hanya tulang. Operasi pertama dokter menyayat kulit pahanya untuk kemudian dicangkok sebagai kulit kaki. Praktis perawatannya menjadi sangat berat; mandi, buang air kecil dan besar terpaksa dilakukan di tempat tidur. Kondisi seperti itu berlangsung lama. 

Hampir tiga bulan dengan tiga kali operasi, belum lagi masa pemulihannya yang juga memakan waktu sangat lama. Sekembalinya ke rumah, Ia masih belum bisa berjalan sendiri. Kesehariannya dibantu oleh kedua kruk di tangannya. Namun lambat laun berkat kegigihannya, Ia dapat berjalan dengan baik layaknya orang normal dan sama sekali tidak pincang.

Semenjak Ia kecelakaan, saya merasa iba namun rasa sayang terhadapnya tidak pudar. Kondisinya tidak membuat saya berhenti berjuang mendapatkannya. Saya sering menyelinap dan memanjat tembok pondok untuk datang kerumah sakit malam-malam. Ibunya seringkali menungguinya seorang diri dan meminta saya untuk menemani beliau. 

Selama menemaninya di rumah sakit, saya mendadak berprofesi sebagai psikolog amatiran untuk mensupportnya supaya bangkit dan menerima kondisi cacat fisiknya sebagai takdir yang harus diikhlaskan. Tidak mudah memang, ketika traumanya datang dia berdoa untuk sesegera mungkin dipanggil Allah. Menurutnya saat itu, mati lebih baik dari pada hidup cacat selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun