Mohon tunggu...
Junaidi Khab
Junaidi Khab Mohon Tunggu... Editor -

Junaidi Khab lulusan Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kambing Kurban dan Sepotong Hati

6 November 2017   10:06 Diperbarui: 6 November 2017   10:13 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mas tak usah memikirkan omongan jamaah masjid yang tadi."

"Iya, Ustad."

"Lebih baik berkurban daripada tidak sama  sekali. Orang yang hanya membicarakan kelemahan orang lain, itu belum  tentu memiliki niat mulia. Jadi, Mas Kurnia sabar dan mantapkan niat  untuk berkurban secara ikhlas."

"Saya hanya sedih, Ustad. Hidup saya tak sekaya mereka. Hidup saya pas-pasan. Tapi, saya ingin mendapat pahala."

"Begitu. Bagaimana kalau Mas Kurnia nanti  bantu-bantu dalam proses penyembelihan hewan kurban? Saya dengan takmir  masjid yang lain kadang kewalahan saat akan menentukan takaran daging.  Beberapa kali minta bantuan warga tak ada yang datang untuk membantu  kami."

Kurnia pun menyanggupi permintaan mulia  tersebut. Pada mulanya Kurnia tidak memberikan hewan kurban di masjid  kampung lain. Tapi, karena masjid di dekat rumahnya terjadi sengketa dan  persoalan pembagian daging yang dimonopoli orang tertentu, akhirnya  masjid itu ditutup. Lalu, Kurnia mengalihkan hewan kurbannya ke masjid  yang masih kondusif. Di kampung sebelah.

"Sudah lah, Mas. Tak usah bersedih. Yang  penting, kita tetap melaksanakan kurban sebagai ibadah kepada Tuhan,"  kata Iffah, istirnya.

"Hhhh... Iya, Dek. Yakinkan Mas-mu ini  untuk tetap tabah dan sabar dalam memantapkan niat ibadah," kata Kurnia  sembari melegakan rongga dadanya yang terasa terhimpit sejak dari masjid  kampung sebelah.

Gubuknya yang sederhana mengingatkan  kenangan Kurnia pada awal menjalani bahtera rumahtangga bersama Iffah.  Ia hidup sebatang karang setelah ditinggal kedua orangtuanya. Iffah yang  bermata bagaikan permata selalu meneduhkan hatinya. Pahit-manis hidup  dijalani bersama. Suka-duka pun silih berganti dijadikan bumbu kehidupan  rumahtangganya. Hingga berkali-kali ia harus memeras mental jiwanya  untuk dapat menyekolahkan anak gadis satu-satunya yang dicintai. Ia tiap  tahun dihadapkan pada batu sandungan cobaan hidup yang benar-benar  sangat melelakan jiwanya. Jatah bekal sekolah anaknya harus jadi  taruhannya demi niat mulia pada hari raya kurban.

Gema takbir dari masjid mengalun. Kurnia  duduk di atas sajadahnya. Sang penguasa siang sudah bangkit di ufuk  itmur. Pikirannya merencanakan jalan terbaik saat pelaksanaan kurban di  masjid. Ia satu-satu warga lain kampung yang diminta bantuan oleh takmir  masjid setelah warga yang lain tak mau membantu sang takmir.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar..." suara takmir menghampiri Kurnia sembari mengulurkan tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun