Mohon tunggu...
Jumino windhandini
Jumino windhandini Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang yang ingin selalu tersenyum hingga saatnya tiba

Seorang yang ingjn selalu tersenyum

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilkades Dalam Bingkai Pesta Calon, Gapit dan Dukun

20 Oktober 2018   17:53 Diperbarui: 20 Oktober 2018   17:59 2749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh salah satu tahapan Pilkades saat ini yaitu tahapan pengundian nomor urut calon

Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan salah satu mekanisme demokrasi desa yang secara langsung melibatkan masyarakat desa. Merupakan sebuah mekanisme yang didalamnya mempresentasikan hak konstitusional seorang warga negara untuk memilih dan/atau dipilih. Dalam Pilkades dan berbagai pemilihan umum lainya pemilih maupun yang dipilih (calon) pada hakekatnya merupakan subyek atas mekanisme pemilihan.

Pilkades merupakan salah satu dari sekian instrumen demokrasi ditingkat akar rumput (grass root). Pilkades konon memiliki usia yang lebih tua dari pada NKRI.

Tepatnya sejak masa Thomas Stanford Rafles (1811-1816). Pemerintah kolonial mengeluarkan dan merubah regulasi pemilihan kepala desa (saat itu disebut dengan lurah) dari mekanisme diangkat dan ditunjuk oleh penguasa pribumi (raja) menjadi mekanisme dipilih oleh masyarakat desa. Penerapan regulasi ini bertujuan untuk merubah serta mengurangi pola hubungan antara kepala desa dengan penguasa pribumi dan sekaligus memperkenalkan model demokrasi barat.

Pada perkembanganya, mekanisme pilkades terus mengalami perubahan. Pada masa awal pilkades, model dan praktek yang digunakan dalam menentukan kepala desa adalah menggunakan cara sederhana dengan sistim terbuka yaitu masing masing pemilih dan pendukung calon membuat adu panjang barisan ditanah lapangan. Kepala desa terpilih adalah berdasarkan panjang barisan pemilih atau pendukungnya.

Selanjutnya menggunakan sistem tertutup menggunakan lidi (bithing) yang dimasukan kedalam potongan bambu (bumbung) bergambar simbol masing masing calon kades yang diletakan pada bilik tertutup. Simbol calon menggunakan gambar hasil bumi atau palawija. Kepala desa terpilih adalah berdasarkan jumlah lidi terbanyak dari pemilih yang berdapat didalam potongan bambu (bumbung). 

Selanjutnya adalah model menggunakan kertas suara bergambar hasil bumi atau palawija sebagai simbol calon. Pemilih mencoblos salah satu gambar simbol calon dengan catatan surat suara dihitung sah apabila terdapat tanda coblosan hanya pada salah satu simbol calon. Kepala desa yang terpilih adalah berdasarkan banyaknya surat suara yang memiliki tanda coblosan pada simbol gambarnya.

Model pemilihan menggunakan kertas surat suara dan mekanisme penentuan kepala desa terpilih berdasarkan banyaknya surat suara yang diperoleh calon terus dilanjutkan hingga sekarang. Namun terdapat penyempurnaan yaitu tidak lagi menggunakan simbol calon berupa gambar hasil bumi atau palawija tetapi menggunakan photo dan nama calon. Perkembangan yang juga tidak berhenti kepada metode pemilihanya saja melainkan berbagai regulasi maupun berbagai tahapan dalam proses pilkades.

Calon Kepala Desa

Pilkades sebagai sebuah pesta demokrasi ditingkat bawah rasanya mungkin lebih menarik jika dibanding dengan pemilihan umum lain karena terkait fenomena fenomena yang terjadi didalamnya. 

Seperti bahwa pilkades tidak semata dilakukan atas dasar perebutan kekuasaan dalam rangka suksesi kepemimpinan di desa atau bagaimana strategi kampanye dilakukan agar mendapat dukungan dari masyarakat desa. Namun lebih daripada itu, Pilkades adalah menyangkut gengsi, harga diri dan kehormatan sehingga terasa lebih bersifat emosional dan rasional dibandingkan dengan pemilihan umum lainnya seperti Pilkada, Pileg maupun Pilpres.

Bagi calon kepala desa jabatan menjadi kepala desa bagaikan magnet yang mempunyai daya tarik. Mereka rela berinvestasi mahal pada waktu pilkades dan  melakukan tugas sosial dengan biaya tinggi, Padahal penghasilan dari bengkok dan insentif bulanan jelas tidak bisa menutup biaya yang telah dikeluarkan. Salah satu alasanya adalah terkait Cultur capital. Cultur capital yang dimaksud seperti dalam bentuk celuk (panggilan).

Cultur capital dalam bentuk celuk sebagai motivasi utama seorang berkontestasi dalam pilkades tergambar lewat istilah dari masyarakat yaitu "kalah beruk, menang celuk"  (imbalan uangnya kecil, tetapi banyak memperoleh panggilan, penghormatan, kewibawan). Sebuah penggilan, penghormatan, dan kewibawaan yang tidak berhenti digunakan hanya pada saat ketika masih menjabat tetapi panggilan juga masih disematkan setelah lengser dari jabatanya dengan memberi panggilan "pak manten".

Dalam rangka memenangkan kontestasi pilkades para calon sebenarnya sadar tentang pelanggaran politik uang yang mereka lakukan tetapi disisi lain para calon membutuhkan itu. Argumen yang dibangun atas sikap para calon yang demikian  adalah bahwa masyarakat sangat mengharapkan pemberian uang dari calon Kades. Pelaksanaan politik uang dengan berbagai penyebutan semisal uang transpot, pengganti upah menjadi sebuah keharusan. Ketiadaan politik uang  menyebabkan keengganan pemilih menggunakan hak pilih pada hari H karena memilih untuk bekerja.

Gapit 

Gapit merupakan mesin politik dalam perpolitikan ditingkat desa yang dibentuk dengan tujuan memenangkan kontestasi calon kepala desa. Saat ini istilah Gapit sering disamakan dengan tim sukses. Istilah dan kelembagaan per-gapit-an kemungkinan muncul bersamaan dengan penerapan model pemilihan kapala desa oleh masyarakat desa yaitu masa Thomas Stanford Rafles (1811-1816).

Keberadaan Gapit menjadi sebuah keharusan karena format pelaksaanaan pilkades tidak melibatkan unsur kepartaian secara formal sebagaimana dalam berbagai pemilihan umum lainya seperti pilkada, pileg maupun pilpres. Gapit menjadi mesin politik yang harus dibangun secara mandiri oleh calon Kades dengan memanfaatkan unsur unsur yang ada didalam masyarakat desa. Dan terkadang mesin mobilisasi pemilih yaitu Gapit, lebih menentukan kemenangan daripada sosok calon kepala desa.

Dalam proses memobilisasi pemilih, para Gapit melakukan beberapa pekerjaan sebagai makelar suara. Pekerjaan Gapit antara lain memetakan pemilih, membangun opini dimasyarakat, sebagai organisator pertemuan warga, membagikan uang atau materi kepada pemilih dan memastikan pemilih datang untuk mencoblos.

Kelembagaan Gapit berisisi orang orang dengan berbagai macam motivasi seperti gengsi, hubungan sosial maupun materi. Motivasi gengsi yaitu adanya kebanggaan sosial yang didapat ketika calon yang di gapit-i menang. Hal ini juga berarti bahwa pertarungan dalam pilkades tidak sebatas pada arena antar calon tetapi juga antar gengsi Gapit.  Motivasi hubungan sosial yaitu merujuk pada kesediaan seseorang menjadi gapit karena adanya kedekatan emosional, hubungan persaudaraan, hubungan kerja atau pertemanan.

Motivasi materi yaitu merujuk pada kesediaan seseorang menjadi Gapit karena berharap keuntungan materi yang akan didapat. Sebuah jabatan kepala desa memang layak untuk diperebutkan dan diperjuangakan karena merupakan jabatan yang mampu memberikan akses secara ekonomi (misal : bengkok), sosial (misal : jabatan) maupun politik (misal : pengaruh). Hubungan interaksi para gapit dengan calon berlanjut ketika calon yang digapiti pada akhirnya keluar sebagai pemenang dalam kontestasi pilkades. Hubungan interaksi antara gapit dengan  kepala desa mengarah pada pembentukan struktur baru seperti dalam struktur pemerintahan, wacana yang dibangun, fasilitas, aset serta legitimasi desa. Perubahan struktur ini biasanya hanya dilandasi dan bermotifkan materi atau ekonomi antara gapit dengan kepala desa.

Dukun 

Dukun atau sering disebut orang pintar merupakan sebuah fenomena dalam pilkades atau mungkin juga dalam berbagai pemilu lainya. Dalam pilkades, informasi bahwa mereka menggunakan jasa dukun sangat ditutupi rapat rapat oleh  para calon maupun para gapit (tim sukses). Mereka menutup rapat informasi tersebut terkait dengan menjaga persepsi dan citra. Takut bahwa calon akan mendapat cap syirik, tidak percaya diri, dan dikendalikan oleh sesuatu yang irasional. Walaupun sebenarnya, menyembunyikan praktek perdukunanya tidak berarti bahwa proses ini tidak bisa ditelusuri.

Penggunaan jasa dukun oleh para calon dalam pilkades umumnya bertujuan untuk memenangkan kontestasi. Praktek dukun semisal dalam bentuk prediksi kemenangan didasarkan pada petungan (ilmu primbon), penerawangan si dukun, tafsir mimpi, pulung, kokok ayam jantan menjelang pemilihan dan berbagai bentuk lainya.

Praktek dukun juga merambah sampai ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pada saat malam hari sebelum TPS digunakan, dukun atau orang suruhanya mengelilingi TPS dan menabur seperti beras kuning, garam, kacang hijau dan berbagai uborampe lain disekitar tempat pencoblosan maupun di jalan jalan menuju TPS. Para calon menggunakan jasa dukun untuk memperlancar pemenangan dalam kontestasi Pilkades. Praktek supranatural  lainya adalah dengan mengunjungi kyai-kyai atau ahli hikmah untuk meminta wafak, jimat dan yang sejenisnya dengan tujuan memenangkan kontestasi pilkades.

Epilog

Mengibaratkan bahwa uraian singkat diatas adalah sebuah prolog yang menguraiakan sedikit gambaran tentang pilkades sebagai sebuah instrumen demokrasi ditingkat desa dengan bermacam dinamika proses maupun aktor didalamya. Maka epilognya adalah bahwa apapun usaha yang dilakukan dalam proses pilkades baik itu oleh calon, gapit maupun dukun semoga tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka untuk menghadirkan bagi warganya seorang dengan sosok kepemimpinan yang  inovatif-progresif bukan konservatif-involutif apalagi regresif.

Kepemimpinan yang inovatif progresif dicirikan dengan lebih melibatkan partisipasi masyarakat desa, berpegang teguh pada prinsip tranparansi, menjamin kebebasan berpendapat serta perlakuan yang sama pada semua rakyatnya, tidak intimidasi, mengedepankan akuntabilitas kerja, visioner dan berusaha mengembangkan kapasitas teknokratik pada masyarakatnya.

Kepemimpinan yang konservatif involutif dicirikan dengan kerja pemerintahan desa yang normatif serta prosedural, bekerja apa adanya, hanya melaksanakan tugas sesuai dengan tupoksi saja, ketiadaan akan inovasi. Hanya melibatkan keluarga, kerabat atau warga warga yang mudah dikendalikan olehnya, transparansi terbatas, peserta musyawarah diseleksi agar mudah dikendalikan. Beragan informasi dan aset dikuasai olehnya dan pengikutnya saja serta antipati terhadap masyarakat yang kritis.

Kepemimpinan yang regresif dicirikan dengan anti terhadap prinsip demokrasi, partisipasi dan akuntabilitas. Kecenderungan yang besar kepada pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan pribadi.

(Refrensi : Dari berbagai sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun