Mohon tunggu...
Jumari Haryadi Kohar
Jumari Haryadi Kohar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, trainer, dan motivator

Jumari Haryadi alias J.Haryadi adalah seorang penulis, trainer kepenulisan, dan juga seorang motivator. Pria berdarah Kediri (Jawa Timur) dan Baturaja (Sumatera Selatan) ini memiliki hobi membaca, menulis, fotografi, dan traveling. Suami dari R.Yanty Heryanty ini memilih profesi sebagai penulis karena menulis adalah passion-nya. Bagi J.Haryadi, menulis sudah menyatu dalam jiwanya. Sehari saja tidak menulis akan membuat ia merasa ada sesuatu yang hilang. Oleh sebab itu pria berpostur tinggi 178 Cm ini akan selalu berusaha menulis setiap hari untuk memenuhi nutrisi jiwanya yang haus terhadap ilmu. Dunia menulis sudah dirintis J.Haryadi secara profesional sejak 2007. Ia sudah menulis puluhan judul buku dan ratusan artikel di berbagai media massa nasional. Selain itu, ayah empat anak ini pun sering membantu kliennya menulis buku, baik sebagai editor, co-writer, maupun sebagai ghostwriter. Jika Anda butuh jasa profesionalnya dihidang kepenulisan, bisa menghubunginya melalui HP/WA: 0852-1726-0169 No GoPay: +6285217260169

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rasyd Ridho, Anak Kampung yang Sempat Menjadi Kapolda Lampung

2 September 2018   16:05 Diperbarui: 5 September 2018   07:06 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan hidup seseorang sulit ditebak. Kita tidak boleh menyepelekan orang yang sekarang hidupnya bisa saja berubah dan terbalik 180 derajat. Orang yang semula hidupnya susah, bisa saja suatu hari berubah menjadi orang sukses. Begitu pula sebaliknya.

Kisah hidup Irjen Pol (Purn) Dr. Drs. H.M. Rasyid Ridho, S.H.,M.H., mantan Kapolda Lampung 2004-2005 ini layak kita jadikan teladan. Betapa tidak, jauh sebelum sukses berkarir sebagai perwira tinggi Polri, masa lalunya ternyata penuh cerita pilu. Siapa sangka pria yang kini aktif sebagai Tenaga Ahli Profesional Bidang Hukum dan HAM di Lemhanas Republik Indonesia ini dulunya pernah hidup susah.

Rasyid berkisah tentang masa SMA-nya yang penuh kenangan. Setamat SMP, dirinya yang hidup bersama kedua orangtuanya di Desa Ujan Mas, Kecamatan Pangandonan, Ogan Komering Ulu, terpaksa harus merantau ke Kotabumi   Ibukota Kabupaten Lampung Utara   untuk melanjutkan sekolahnya.

Di Kotabumi, anak ketiga dari enam bersaudara ini tinggal bersama kakak perempuannya yang kehidupan ekonominya juga jauh dari cukup. Bahkan, belum masuk pertengahan bulan kakaknya sudah mulai berhutang ke warung. Oleh sebab itu Rasyid harus pandai menjaga diri dengan rajin belajar dan tidak berbuat hal negatif, agar tidak mengecewakan kakak dan kedua orangtuanya.

Rasyid bersyukur akhirnya bisa masuk di SMAN 1 Kotabumi yang saat itu merupakan satu-satunya SMA Negeri dan terbaik yang ada di Kabupaten Lampung Utara. Semua ini tidak terlepas dari perjuangannya dan doa dari kedua orangtuanya. Apalagi selama ini dia dikenal sebagai anak yang cerdas dan acap kali mendapat ranking terbaik di sekolahnya.

MASA SMA YANG PENUH PRIHATIN

Lahir dari keluarga yang serba kekurangan tidak membuat Rasyid nyiut nyalinya untuk melanjutkan sekolah. Kondisi ekonomi orangtuanya yang pas-pasan memaksa dia harus banyak belajar bersabar. Bayangkan saja, pakaian pun hanya memiliki beberapa buah saja. Bahkan, dia hanya memiliki sebuah sepatu untuk ke sekolah. Sedihnya lagi, sepatu yang dipakainya pun sudah koyak-koyak, tetapi dia tetap memakainya juga. Apa boleh buat, daripada tidak memakai alas kaki sama sekali, sepatu butut pun tetap dipakainya. Tentu saja dia pergi ke sekolah sambil menahan rasa malu. Semua itu ditahannya demi meraih masa depan yang lebih baik.

"Saat itu saya benar-benar tidak diperhitungkan di sekolah. Maklum saya berasal dari keluarga miskin. Apalagi jika dibandingkan dengan Iskandar Saleh, teman sekolah saya yang merupakan anak seorang camat. Tentu saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya. Saya ingat waktu itu dia sudah pakai motor Honda CB 69 kalau ke sekolah, sementara saya cuma berjalan kaki" ujar Rasyid mengenang masa lalunya yang susah.

Waktu liburan sekolah, teman-teman sebaya Rasyid bisa menikmatinya dengan bermain atau  berpacaran. Namun, dia tidak bisa seperti mereka. Rasyid dan saudara-saudaranya justru sejak pagi membantu orangtuanya turun ke sawah. Mereka pulang ke rumah siang hari, saat perut sudah terasa lapar.

Ketika masa liburan sekolah menjelang usai, orangtua Rasyid mengumpulkan anak-anaknya. Sambil duduk bersila di lantai rumahnya, orangtuanya menanyakan kebutuhan sekolah mereka. Lalu semua anak-anaknya mengutarakan kebutuhan mereka masing-masing. Tentu saja kebutuhan mereka cukup besar dan tidak semuanya bisa dipenuhi oleh orangtunya yang penghasilannya terbatas.

"Sebenarnya kemampuan orangtua saya untuk menyekolahkan kami, anak-anaknya, tidak besar. Paling separonya atau sekitar 50 persen saja. Nah, kekurangannya itu dipenuhi orangtua kami dengan cara berhutang," ungkap Rasyid dengan nada haru.

Tidak jarang apa yang diterima oleh Rasyid tidak sesuai dengan permintaannya. Namun, dia berusaha untuk menerimanya dengan ihlas, karena dia menyadari kondisi orangtuanya yang memang terbatas. Berbeda dengan salah seorang kakaknya. Jika permintaannya kurang, dia protes dan tidak terima, sehingga suasana kadang menjadi ramai.

ORANGTUA BERPIKIRAN MAJU

Beruntung orangtua Rasyid tergolong orang yang berpandangan maju. Ketika masih banyak orang di kampungnya yang berpikiran sempit, dia justru sebaliknya. Orang kampungnya rata-rata jarang yang menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Mereka beranggapan untuk apa memaksakan diri menyekolahkan anak kalau kondisi ekonomi tidak mampu. Hal ini berbalik dengan pemikiran orangtua Rasyid. Dia justru berpikir, apapun akan dilakukannya demi sekolah anak-anaknya. Tidak mampu pun dia rela berhutang, yang penting anak-anaknya bisa maju sekolahnya.

"Sudahlah, jangan menyekolahkan anak kalau tidak ada uang," ujar teman-teman orangtua Rasyid yang tidak setuju dengan pendapatnya. Mereka beranggapan memaksakan diri menyekolahkan anak dalam kondisi ekonomi pas-pasan sama saja dengan kesia-siaan.

Anehnya lagi, ketika orangtuanya sukses menyekolahkan anak-anaknya dan banyak yang sudah sukses, tetap saja ada pendapat miring dari mereka. "Habis tanah dan ladang dijual, makanya bisa jadi orang," kata mereka. Jadi semua serba salah, tidak ada yang benar.

"Kejelekan orang-orang kami dulu di kampung, makanya jangan ditiru. Kalau tidak bisa membantu, ya jangan mencela. Misalnya ada teman yang sukses, ya kita dekati saja, jangan dicemburui, apalagi difitnah. Kalau ada teman yang susah dan perlu bantuan, ya kita bantu. Jadi, jangan senang melihat orang susah atau susah melihat orang lain senang," kata Rasyid sedikit berfilosofi.

Ada kebiasaan orangtua Rasyid yang sangat menarik. Setiap akhir semester, ketika anak-anaknya akan mengikuti ulangan umum atau ujian, biasanya orangtuanya mengundang tetangganya ke rumah dan membuat acara pengajian. Mereka membaca Surat Yasin dan ikut mendoakan anak-anaknya yang sedang ujian. Kebiasaan ini selalu dilakukan orangtuanya sampai semua anak-anaknya lulus ujian.

KEHIDUPAN DI KAMPUNG YANG SEDERHANA

Rasyid dibesarkan di sebuah kampung kecil di Pulau Sumatera yang tidak begitu dikenal luas. Masa kecilnya dihabiskan dengan bermain dengan teman sebayanya. Kalau mau mandi, biasanya pergi ke sungai yang letaknya tidak jauh dari kampungnya.

Rata-rata penduduk kampungnya bermata pencarian dengan bercocok tanam. Sebagian lagi berdagang kecil-kecilan. Kalau ada penduduk yang punya warung agak lengkap, itu sudah termasuk hebat dan bisa dibilang orang kaya di kampungnya.

Orang kampung jarang sekali bepergian ke kota. Kalau mau belanja ke pasar, tempatnya jauh di kota, sehingga mereka jarang sekali mereka pergi ke kota, kecuali kalau memang dianggap ada keperluan penting. Biasanya kebutuhan sehari-hari dipenuhi ketika ada pasar kaget mingguan yang biasa disebut 'kalangan'. Nah, di pasar kaget inilah penduduk kampung yang ada di sekitarnya berbelanja semua kebutuhan mereka selama satu minggu.

Sebagai orang kampung, jarang sekali keluarganya makan daging. Kalau mau makan daging, biasanya saat lebaran. Itupun dengan memotong ayam peliharannya sendiri atau makan saat ada undangan pesta pernikahan atau sunatan di tempat tetangganya. Jadi, makanan sehari-harinya biasanya cuma sayur-sayuran, sambal atau ikan asin. Paling sekali-kali makan ikan kalau kebetulan ada anggota keluarga yang pergi memancing atau menjala ikan di sungai.

SUKSES MENJADI PERWIRA TINGGI POLISI

Setamat SMAN, Rasyd mencoba keberuntungannya mendaftar jadi perwira polisi dengan mengikuti tes masuk AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)    saat ini AKPOL. Semua tahapan tes dilaluinya dengan penuh semangat. Akhirnya dia berhasil menjadi satu-satunya calon taruna AKABRI bagian kepolisian yang lolos mewakili Provinsi Lampung.

Semua keluarga besar Rasyd sangat bangga atas prestasinya. Betapa tidak, seorang anak kampung bisa berhasil lolos masuk AKABRI bagian kepolisian mengalahkan kandidat lainnya yang jumlahnya ribuan orang. Apalagi pesaing-pesaingnya kebanyakan bukan berasal dari keluarga biasa. Banyak anak pejabat dan anak pengusaha dari kota yang ikut bersaing dengannya.    

Usai dilantik sebagai perwira pertama dengan pangkat Letnan Dua di istana negara, Rasyid mendapat tugas pertamanya di sebuah kota kecil di Kalimantan Barat. Lokasinya jauh dari kota dan berbatasan dengan Serawak, Malaysia. Oleh sebab itu sejak bertugas di sana, dia jarang pulang ke kampungnya di Sumatera. Bukannya tidak rindu dengan orangtuanya, melainkan pertimbangan biayanya yang relatif mahal.

Setelah menjadi polisi, kehidupan alumni SMAN 1 Kotabumi ini masih susah dan belum banyak berubah. Sebagai salah seorang anak yang dianggap sukses, orangtua Rasyid menitipkan adik-adiknya untuk diasuh olehnya. Semua diterimanya dengan ihlas sebagai wujud pengabdiannya kepada kedua orangtuanya. Sampai berpangkat Kapten    sekarang Ajun Komisaris Polisi (AKP), dia masih bertugas di Kalimantan Barat. Dia mengaku baru pertama kali bisa punya mobil saat berpangkat mayor    sekarang Komisaris Polisi (Kompol).

Karir pria berdarah Ogan ini secara perlahan terus naik. Beberapa jabatan strategis seperti jabatan kepala kesatuan pernah disandangnya, mulai dari Kapolsek, Kapolres, Kapoltabes, Kapolwil, sampai Kapolda. Pada 2004 Rasyid mendapat promosi menduduki jabatan Kapolda Lampung dengan pangkat Brigadir Jenderal. Tentu ini sebuah kehormatan dan kebanggan tersendiri bagi dirinya dan keluarga besarnya. Akhirnya anak kampung yang dulu sempat tidak diperhitungkan oleh teman-temannya itu berhasil menjadi seorang jenderal dan menjadi orang nomor satu di jajaran kepolisian di daerah kelahirannya.  

Setahun setelah menjabat sebagai Kapolda Lampung, pada Oktober 2005 posisi Rasyid bergeser menjadi Perwira Tinggi Mabes Polri di Jakarta. Beberapa jabatan lain yang pernah disandangnya diantaranya sebagai Direktur Jianbang Sespim Polri dan terakhir sebagai Tenaga Ahli Profesional Bidang Hukum dan Ham dengan pangkat terakhir Irjen Pol (perwira tinggi bintang dua).

Kini pria ramah yang suka makan gulai "Pindang Baung" ini berniat untuk kembali berkiprah di kampung halamannya. Rasyid berniat memajukan daerah kelahirannya melalui parlemen dengan mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR RI daerah pemilihan Lampung 2. Semoga niat baik salah seorang putra terbaik Lampung ini mendapat dukungan penuh dari masyarakat.   

 ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun