Mohon tunggu...
Jumardin Muchtar
Jumardin Muchtar Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti / Dosen di Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda

Info contact instagram @jumardinmuchtar

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Dinamika Ketidaksetaraan Makna

2 Maret 2024   14:20 Diperbarui: 2 Maret 2024   14:27 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Do You Think About Dynamics of Meaning Inequality by Jumardin Muchtar 

Makna seringkali dibentuk oleh konteks budaya dan sosial. Dinamika sosial, seperti kelas, gender, etnis, dan agama, dapat memengaruhi cara masyarakat memahami dan menafsirkan pengalaman mereka. Ketimpangan makna bisa muncul ketika kelompok tertentu mempunyai kendali lebih besar atas narasi dan representasi budaya. Makna, seperti air yang mengalir, terus-menerus membentuk dan membentuk kembali realitas sosial kita. Namun perlu diperhatikan bahwa makna sangat dipengaruhi oleh konteks budaya dan sosial yang melingkupinya. Dinamika sosial seperti kelas, gender, etnis, dan agama memegang peranan sentral dalam pembentukan makna.Dalam setiap masyarakat, gagasan tentang apa yang penting, diinginkan, atau bahkan benar dan salah, tidaklah statis. Penting untuk dicatat bahwa realitas kita dibentuk oleh interaksi kompleks antara individu, kelompok, dan struktur kekuasaan. Misalnya, dalam masyarakat dengan sistem kelas yang kuat, kemakmuran atau kesuksesan sering kali diukur berdasarkan kekayaan atau status sosial. Sebaliknya, dalam konteks kelompok etnis atau agama, makna dapat diinterpretasikan melalui kacamata identitas kolektif, sehingga mempengaruhi pemahaman individu tentang peran mereka dalam masyarakat. Namun perlu diingat bahwa tidak semua kelompok mempunyai akses yang sama terhadap proses pembentukan makna. Ketimpangan makna bisa muncul ketika kelompok tertentu mempunyai kendali lebih besar atas narasi dan representasi budaya. Kelompok yang mempunyai kekuasaan atau dominasi sosial cenderung menentukan apa yang dianggap resmi atau sah, sementara suara yang lebih lemah atau terpinggirkan sering kali diabaikan atau dihapuskan dari narasi umum.

Menyadari kompleksitas ini memperjelas bahwa ketidaksetaraan makna bukanlah isu sekunder atau tidak penting. Sebaliknya, hal ini mencerminkan kesenjangan mendasar dalam distribusi kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat kita. Dengan memahami lebih dalam dinamika ini, kita dapat mulai mengungkap akar kesenjangan dan menciptakan ruang bagi beragam suara dan pengalaman untuk diakui dan dihargai secara adil.

Oleh karena itu, penulis menggambarkan satu contoh cerita mengenai ketidaksetaraan makna pada legenda air mata suci adalah sebagai berikut:

Di sebuah desa kecil yang dihuni oleh dua kelompok etnis yang berbeda, terdapat sebuah legenda tua tentang mata air suci yang diyakini memiliki kekuatan penyembuhan yang luar biasa. Setiap tahun, pada bulan yang sama, kedua kelompok tersebut mengadakan ritual bersama di sekitar mata air tersebut, menghormati leluhur mereka dan meminta berkah untuk kesuburan dan kesejahteraan desa.Namun, meskipun ritual tersebut dianggap sebagai tradisi yang mendalam dan berharga bagi kedua kelompok, interpretasi makna di balik ritual itu sangat berbeda di antara mereka. Bagi kelompok pertama, ritual itu adalah simbol persatuan dan harmoni antara dua budaya yang berbeda. Mereka melihat mata air suci sebagai tempat yang melambangkan perdamaian dan persaudaraan antara mereka.Sementara itu, bagi kelompok kedua, mata air suci dianggap sebagai sumber kekuatan spiritual yang secara khusus melindungi dan memberkati komunitas mereka. Bagi mereka, ritual itu adalah cara untuk memperkuat ikatan dengan leluhur mereka dan mendapatkan perlindungan untuk masa depan.

Namun, perbedaan makna yang lebih dalam mulai muncul ketika pemerintah desa memutuskan untuk membangun fasilitas pariwisata di sekitar mata air suci. Kelompok pertama melihat ini sebagai peluang untuk mempromosikan perdamaian dan kerjasama antar-etnis, sementara kelompok kedua melihatnya sebagai ancaman terhadap keaslian dan kesucian tempat suci mereka.Konflik mulai timbul ketika desakan untuk mengkomersialisasi mata air suci tersebut meningkat. Kelompok pertama menekankan pentingnya melestarikan nilai-nilai budaya dan spiritual, sementara kelompok kedua merasa bahwa komersialisasi tersebut akan menghancurkan keintiman dan makna yang mereka alami selama berabad-abad.

Dalam konflik ini, terlihat jelas bagaimana perbedaan dalam interpretasi makna dapat menghasilkan ketidaksetaraan dalam prioritas dan tujuan antar-kelompok. Meskipun keduanya mungkin memiliki niat yang baik, pandangan yang berbeda tentang makna ritual dan mata air suci tersebut menyebabkan ketegangan dan konflik di antara mereka. Semoga dari tulisan ini kita bisa mendapatkan hikmah kehidupan sehingga bisa mengambil manfaat dari tulisan ini.

Baca Juga : Benarkah Karya Ilmiah adalah Aset yang Perlu Diinvestasikan? Kok Bisa?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun