Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jangan "Sepelekan" Rastra

8 Juni 2017   16:15 Diperbarui: 8 Juni 2017   19:09 1845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biasanya lagi, para petani gurem memiliki modal terbatas sehingga meminjam dari rentenir dengan bunga modal yang cukup besar, kemudian begitu dijual menghadapi perilaku tengkulak yang sangat merugikan mereka. Setali tiga uang, belum lagi risiko gagal bayar akibat gagal panen yang membuat mereka meninggalkan sawahnya. Bahkan ada juga yang menjual sawahnya kepada petani berdasi hingga menjadi buruh di tanah mereka sendiri. Padahal, petani gurem yang betelanjang dada inilah yang sangat berjasa dalam menyukseskan program swasembada pangan.

2. Apakah mentan juga mengabaikan fenomena bahwa Indonesia banyak petani berdasi yang pemiliknya adalah pemodal besar atau orang kota?

Menurut Prof Sajogyo, petani gurem sangat laris jadi objek penelitian dan diskusi namun petani berdasi seakan tabu untuk diusut ujung pangkalnya. Petani berdasi merupakan pemilik sawah atau kebun yang tidak pernah mengerjakan sendiri tanahnya. Menurut BKPM, selama lima tahun terakhir sudah mencapai nilai investasi 8 triliun dengan jumlah proyek 377, dengan nilai investasi di atas 1 triliun. Belum lagi fenomena baru di masyarakat kita, yang menanamkan uang di bawah ratusan dan puluhan juta di sektor pertanian. Sehingga subsidi rastra sangatlah tepat untuk petani gurem, sedangkan subsidi input justru tidak tepat sasaran kalau kita berdasarkan fakta di atas.

3. Apakah Mentan mencoba menutup mata bahwa negeri ini lebih banyak buruh tani bukan pemilik lahan sebenarnya?

Faktanya, menurut kepala BPS Suryamin, berdasarkan survei yang dilakukan selama periode sepuluh tahun antara tahun 2003 hingga 2013, jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian terus menurun. Rata-rata diakibatkan beberapa hal di mana antara lain seperti alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan pabrik, dan perumahan. Kepala BPS juga menyatakan keperihatinannya mengenai pendapatan keluarga petani yang semakin tidak berdaya.

Rata-rata pendapatan buruh pertanian hanya Rp 1,82 juta per tahun per rumah tangga. Sangat timpang jika dibandingkan dengan buruh di luar pertanian seperti sektor perkebunan dengan pendapatan 3,27 juta per tahun per rumah tangga. Dapat kita bayangkan, jika uang sebanyak itu dibelanjakan keperluan sehari-hari pada zaman sekarang.


4. Apakah Mentan ingat bahwa masyarakat miskin banyak di perdesaan bukan di kota?

Faktanya, menurut data yang dirilis BPS, pada September 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,76 juta jiwa. Di mana, 10,49 juta orang berada di perkotaan dan 17,28 juta jiwa berada di perdesaan.

Jadi, sungguh ironis dengan fenomena sekarang, di mana banyaknya kepala desa atau daerah yang menolak jatah raskin ketika panen raya berlangsung, sementara selama ini penduduknya mendapatkan jatah rastra. Apakah petani yang selama ini miskin dan mendapat jatah rastra tiba-tiba menjadi kaya mendadak ketika panen raya? Apakah data BPS yang salah mendata masyarakat yang benar-benar miskin? Atau apakah karena adanya kepentingan terselubung dari pihak yang berkepentingan untuk pencitraan?

5. Apakah Mentan tahu bahwa sebelum ada rastra hampir 80% pengeluaran rumah tangga di desa hanya untuk membeli beras dan setelah ada rastra turun di bawah angka 60%?

Faktanya, menurut data BPS pada tahun 2007-2013, rata-rata pengeluaran masyarakat Indonesia di desa untuk membeli pangan sekitar (50,7% -58,8%) hal ini berbanding lurus dengan hasil penelitian Arlin Karolin Sihombing dari IPB tahun 2014 yang menyatakan bahwa kontribusi raskin terhadap total konsumsi beras adalah sebesar 17,2 persen. Ini artinya, memang rastra yang selama ini digelontorkan oleh pemerintah memang benar-benar efektif mengurangi sebagian pengeluaran rakyat miskin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun