Ragil mengangguk pelan. "Aku sendiri lebih tertarik ke teknik informatika. Pengen ngembangin aplikasi atau software yang bisa bantu banyak orang."
"Kalian berdua udah punya rencana jelas, ya. Aku masih bingung nih, mau ngambil jurusan apa," keluh Rendra sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Kami pun tertawa. Meskipun kami memiliki minat dan rencana yang berbeda, satu hal yang pasti: kami selalu saling mendukung. Persahabatan kami seperti garis-garis yang saling berpotongan, membentuk sesuatu yang indah dan bermakna.
Setelah bel sekolah berbunyi, kami pun masuk ke kelas dan memulai hari dengan pelajaran pertama. Namun, pikiranku sesekali melayang ke Lintas Garis Coffee. Aku membayangkan ibu dan Anjani sedang sibuk melayani pelanggan, menyiapkan kopi, atau sekadar berbincang dengan para tamu yang datang. Kafe itu bukan sekadar tempat usaha bagi kami---ia adalah bagian dari hidup kami, tempat di mana kami belajar tentang arti keluarga, kerja keras, dan mimpi.
Ketika jam istirahat tiba, kami bertiga memutuskan untuk makan siang bersama di kantin. Ragil membawa bekal dari rumah, sementara Rendra dan aku memilih untuk membeli makanan di kantin. Kami bercerita tentang banyak hal, mulai dari rencana setelah lulus hingga kisah-kisah lucu yang terjadi di sekolah.
"Eh, kalian udah dengar belum? Katanya ada lomba bisnis muda se-Sidoarjo nih. Hadiahnya lumayan besar," kata Rendra tiba-tiba.
Aku langsung tertarik. "Lomba bisnis muda? Serius? Itu bisa jadi kesempatan buat Lintas Garis Coffee!"
Ragil mengangguk. "Iya, aku juga dengar. Lomba itu buat pelajar SMA yang punya usaha. Kamu bisa ikut, Arman."
Rendra menepuk pundakku. "Ayo, Arman! Ini kesempatan buat ngepromosiin kafe kalian. Lagian, siapa tau bisa menang dan dapet modal buat ngembangin usaha."
Aku tersenyum. Ide itu terdengar menarik. Mungkin ini adalah kesempatan untuk membawa Lintas Garis Coffee ke level yang lebih tinggi. Tapi, aku juga sadar bahwa persaingannya pasti akan ketat.
"Oke, aku akan coba. Tapi kalian harus bantu aku, ya," kataku pada Ragil dan Rendra.