Namaku Arif. Aku bukan orang gila, hanya... kadang mereka bilang aku "sakit". Kata dokter, aku mengidap skizofrenia. Tapi bagiku, yang kualami lebih nyata dari sekadar diagnosa medis.
Sudah dua minggu ini aku tidak tidur nyenyak. Rumahku, kecil di pinggiran kota, sudah seperti sarang neraka. Setiap malam, suara-suara itu datang. Bisikan, jeritan, langkah kaki. Aku tahu itu bukan khayalan---aku bisa merasakannya. Bayangan mereka muncul di dinding, di cermin, bahkan dalam panci dapur yang kupakai untuk merebus mie.
Aku sudah mencoba bertahan. Tapi semalam, aku melihat seorang perempuan berdiri di depan tempat tidurku. Wajahnya rusak, matanya menatapku tajam. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menunjuk ke arahku.
Pagi ini aku nekat. Dengan jaket lusuh dan celana yang sudah kotor, aku pergi ke kantor polisi. Aku tahu mereka sibuk, semua orang membicarakan kasus pembunuhan berantai yang menghebohkan kota. Lima korban dalam dua minggu, semua ditemukan dengan luka aneh dan posisi tubuh yang... terlalu artistik untuk sekadar pembunuhan.
Tapi aku tetap masuk dan melapor.
"Pak... saya diganggu hantu. Sudah hampir dua minggu... mereka datang tiap malam. Saya takut mereka mau membunuh saya."
Polisi yang duduk hanya memandangku. Ada senyum menahan tawa dari bibirnya. "Pak Arif, ya? Kami sedang fokus pada kasus serius. Kalau ada gangguan seperti itu, lebih baik ke rumah sakit, bukan ke sini."
Aku ingin marah, tapi aku tahu marahku akan dianggap sebagai gejala. Jadi aku hanya mengangguk dan pulang dengan kepala tertunduk.
Malam itu, mereka datang lagi. Kali ini lebih banyak. Aku menutup kupingku, tapi suara jeritan itu tetap menembus otakku. Aku menjerit, meronta, bahkan membenturkan kepalaku ke tembok. Darah keluar, tapi suara itu tidak berhenti.
Aku kehilangan waktu. Hari-hari berlalu dalam kabut.
Lalu pagi itu datang. Pagi yang berbeda.
Ada ketukan di pintu.
Ketika kubuka, dua polisi berdiri. Salah satunya yang sempat menertawaiku di kantor.
"Pak Arif, kami minta waktu sebentar."
Hatiku melonjak. Akhirnya! Mereka percaya padaku! Mungkin mereka menemukan sesuatu. Mungkin mereka sadar bahwa yang kulihat benar adanya!
Mereka mempersilakanku duduk. Aku menghidangkan teh, meski tangan masih gemetar.
Tapi kemudian satu polisi membuka map, dan menunjukkan sesuatu.
Foto. Foto-foto mengerikan. Mayat-mayat. Posisi tubuh yang kukenal. Terlalu kukenal.
"Ini... bukan... bukan saya..."
Tapi suara dalam kepalaku berbisik: "Itu karya kita."
Aku terpaku.
"Pak Arif," kata polisi itu, pelan namun tegas. "Kami menemukan sidik jari Anda di semua lokasi. Darah Anda di pakaian korban terakhir. Dan semua korban tinggal tak jauh dari rumah Anda."
"Aku tidak ingat..."
"Beberapa saksi melihat Anda berada di sekitar tempat kejadian, tengah malam, berbicara sendiri."
Aku mematung.
Tiba-tiba semua suara yang menghantuiku menjadi bisu. Rumah jadi sunyi. Terlalu sunyi.
Aku tertawa kecil. Lalu menangis.
"Aku hanya ingin mereka pergi... aku tidak tahu mereka itu nyata atau... aku..."
Polisi memborgol tanganku perlahan. Mereka tidak berkata apa-apa. Aku digiring ke mobil patroli, lewat jalanan sepi.
Dari jendela mobil, aku melihat perempuan rusak itu berdiri di depan rumah. Kali ini dia tersenyum.
Dan aku akhirnya mengerti.
Aku bukan korban. Aku adalah hantu bagi mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI