Mohon tunggu...
Julianda Boangmanalu
Julianda Boangmanalu Mohon Tunggu... Lainnya - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk memahami dan suka pada literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makam Belanda "Kerkof" Bukti Perjuangan Rakyat Aceh

18 Agustus 2022   16:29 Diperbarui: 6 September 2022   14:40 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemakaman Belanda (kerkof) di Banda Aceh. Foto: acehprov.go.id

Eksistensi peninggalan kolonial Belanda di Banda Aceh menjadi salah satu bukti perlawanan Rakyat Aceh dalam perjuangan melawan penjajahan kolonial Belanda. Rakyat Aceh bersama para ulama berhasil mengusir penjajah kolonial dari tanah rencong, melalui peperangan dahsyat antara kedua belah pihak.

Sejarah membuktikan bahwa rakyat Aceh memiliki semangat juang yang tinggi terutama perlawanan kepada penjajahan kolonial Belanda. Perang yang dilakukan Belanda di Aceh adalah perang yang paling lama di Nusantara. Perang dimulai tahun 1873 sampai tahun 1942.

Akibat peperangan tersebut, menimbulkan banyak korban jiwa antara kedua belah pihak. Pihak Belanda juga banyak yang tewas dalam peperangan di beberapa wilayah Aceh. 

Salah satu bukti adalah serdadu Belanda yang dimakamkan di pemakaman Kerkof di  Banda Aceh, terdapat sebanyak 2.200 serdadu yang dimakamkan akibat perang tersebut.

Kerkof menjadi bukti bahwa rakyat Aceh pada masa itu, sangat gigih dan berani menentang segala bentuk penjajahan, terutama demi mempertahankan agama dan bangsa Aceh.

Kerkof Peucut

Nama kerkof berasal dari bahasa Belanda yang bermakna halaman gereja atau kuburan. Masyarakat Aceh memaknai tempat pemakaman tersebut sebagai kuburan orang-orang Belanda. Kerkof disebut juga peutjoet. 

Peutjoet merupakan nama anak laki-laki Sultan Iskandar Muda yang dihukum rajam oleh Sultan Iskandar Muda karena berbuat zina dan dimakamkan di lokasi pemakaman tersebut.

Oleh karenanya, masyarakat Aceh juga menyebutnya dengan Kerkof Peutjoet (lafalnya: Peucut). Kerkof Peucut merupakan kuburan serdadu Belanda (Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL), yang tewas akibat perang. 

Beberapa tokoh penting tentara Belanda yang dimakamkan di lokasi tersebut, yakni: Johan Harmen Rudolf Köhler, Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, dan W.B.J.A. Scheepens (sumber: Wikipedia).

Kerkof Peucut terletak di tengah kota Banda Aceh dengan ukuran luas makam 3,5 Ha dan saat ini menjadi salah satu objek wisata yang menarik wisatawan mancanegara, terutama wisatawan dari Belanda.

Sebelumnya, keluarga Bolchover adalah pemilik tanah dengan usaha perumahan, dan lain-lain di atasnya. Lalu, tahun 1880 Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih tanah tersebut sebagai tempat kuburan massal Belanda dan memberi nama kerkof (Sudirman, dikutip dari Tjoetje, 2017).

Selain tentara Belanda, tentara KNIL dari suku Jawa, Batak, dan Ambon juga dimakamkan di Kerkof Peucut (sumber: Wikipedia).

Gerbang Kerkof Peucut. Foto: Wikiwand.com
Gerbang Kerkof Peucut. Foto: Wikiwand.com

Gerbang adalah salah satu bagian peninggalan bersejarah yang ada di lokasi Kerkof Peucut yang dibangun pada 1893. Di atas pintu gerbang tersebut bertuliskan "Aan Onze Kameraden, Gevallen op het van eer" (Untuk Sahabat Kita yang Gugur di Medan Perang). Teks lain dibuat dalam bahasa Arab, Melayu, dan huruf Jawa. 

Dindingnya terbuat dari marmer dengan bertuliskan nama-nama orang yang dimakamkan beserta tempat dan tahun meninggalnya. Semuanya berjumlah 2.200 nama.

Peperangan Rakyat Aceh Melawan Belanda

Perang perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda tak terlepas dari ideologi Islam yang merupakan cerminan masyarakat Aceh yang Islami. Ideologi perang sabil menjadi ideologi penyemangat rakyat Aceh dalam melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda.

Peperangan melawan penjajah kafir dipahami sebagai jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah), berarti bahwa rakyat Aceh yang mati melawan penjajah Belanda dianggap sebagai mati syahid. Ideologi inilah yang membakar semangat rakyat Aceh sehingga berani melawan penjajah Belanda di tanah Aceh.

Peperangan rakyat Aceh melawan tentara Belanda terjadi hampir di seluruh wilayah Aceh. Berikut beberapa peperangan di wilayah Aceh yang dikutip hasil penelitian Sudirman (2017), yakni: 

  • peperangan di Banda Aceh tahun 1873 dan 1874
  • pertempuran di Kampung Lambhuk, 1873 dan 1874
  • pertempuran di Lueng Bata, 1874
  • pertempuran Aroen, 1875
  • pertempuran Olehkarang-Pango di Kampung Ulekareng dan Pango,1876
  • pertempuran Lambaro, 1876
  • pertempuran Lampagger, 1876
  • pertempuran Kajoeleh, 1876-1877
  • pertempuran Simpang Ulim dan Samalanga,1822, 1878, 1878, dan pertempuran Samalanga,1877, 1880, dan 1882 
  • pertempuran Tjot Rang-Pajaoe pada 1882 dan Lepong Ara, 1883 dan 1884 
  • pertempuran Gedong dan Sigli, 1878
  • pertempuran di wilayah XXII dan XXVI Moekims, 1878 dan 1879
  • pertempuran Tjot Basetoel, 1883 dan 1884, serta Krueng Kale,1883 
  • pertempuran Lambari dan Tenom, 1884
  • pertempuran Rigaih, 1886
  • pertempuran di Kandang, 1891
  • pertempuran Kota Toeankoe, 1889
  • pertempuran Edi, 1889 dan 1890
  • pertempuran Lambesoi, 1884 dan pertempuran Koewala, 1887
  • pertempuran Podiamat, Banda Aceh, 1889
  • pertempuran Kampung Kunyet, 1899
  • pertempuran dalam daerah Atjeh en Onderhoorigheden, 1910
  • pertempuran dalam wilayah Zuidel-Atjehsche Landschappen, 1925-1927

Peninggalan Kolonial Lainnya

1. Pemukiman Militer Belanda

Selain Kerkof Peucut, di Aceh masih banyak peninggalan kolonial lainnya. Pemukiman militer Belanda yang masih berdiri kokoh terdapat di Neusu Jaya, Banda Aceh, di bangun pada tahun 1910 dan di Kuta Alam, Banda Aceh, akhir tahun 1800-an. Konstruksi rumah tersebut terbuat dari kayu menggunakan model rumah panggung.

Rumah opsir militer Belanda. Foto: ichsanamri.blogspot.com
Rumah opsir militer Belanda. Foto: ichsanamri.blogspot.com

Pemukiman militer ini dibangun sebagai pusat pertahanan, yang dibangun mengelilingi bangunan kediaman Gubernur Jenderal (pendopo). Pemukiman militer ini untuk melindungi pejabat-pejabat penting dan Gubernur yang tinggal di dalam pendopo.

2. Gedung Bank Indonesia

Gedung Bank Indonesia, bangunan peninggalan Belanda. Foto: ichsanamri.blogspot.com
Gedung Bank Indonesia, bangunan peninggalan Belanda. Foto: ichsanamri.blogspot.com

Selain itu, Gedung Bank Indonesia (BI) adalah bangunan peninggalan kolonial yang masih berdiri gagah sampai saat ini terletak di Kelurahan Keudah, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. 

Gedung BI pada awalnya digunakan sebagai rumah sakit yang bernama Binnen Hospital kemudian tahun 1828 digunakan sebagai bank Da Javashe Bank (Rahmadhana, 2020). 

Bahan bangunannya terbuat dari beton berbentuk menara yang terletak di kiri kanan bangunan induk berlantai 3, beratap sirap berbentuk kubah. Setiap sisi dinding lantai 3 menara, terdapat 4 buah jendela. Pada dinding lantai dasar terdapat 4 buah jendela. Pada lantai dasar terdapat 5 ruang dan 5 buah jendela.

3. Museum Aceh (Rumoh Aceh)

Museum Aceh (Rumoh Aceh). Foto: alber.id
Museum Aceh (Rumoh Aceh). Foto: alber.id
Museum Aceh (Rumoh Aceh) dibangun pada tanggal 31 Juli 1915 oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan nama Atjeh Museum di bawah pimpinan F.W.Stammeshous dan diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Jenderal Belanda H.N.A. Swart. 

Museum ini berada di Jl. Sultan Mahmudsyah No.10, Peuniti, Kec. Baiturrahman , Banda Aceh yang berdekatan dengan pendopo Gubernur Aceh.

Melalui Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2002, status Museum Aceh menjadi UPTD Museum Provinsi Aceh dibawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.

Saat ini, museum ini memiki 5.328 koleksi benda budaya dari berbagai jenis dan 12.445 buku dari berbagai judul aneka macam ilmu pengetahuan.

4. Gedung Sentral Telepon

Sentral Telepon Militer Belanda. Foto: andalastourism.com
Sentral Telepon Militer Belanda. Foto: andalastourism.com
Situs sejarah ini berada di tengah Kota Banda Aceh tepatnya di Jalan Teuku Umar Kelurahan Suka Ramai, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Lokasinya tidak jauh dari Taman Sari, Taman Budaya Aceh, dekat juga dengan Museum Tsunami Aceh.

Gedung ini dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1903, sebagaimana tahun yang tertera di atas jendela bangunan tersebut. Saat itu, gedung ini dimanfaatkan sebagai pusat informasi militer untuk menginfomasikan terkait perang melawan rakyat Aceh.

Dahulu, jaringan telepon ini tembus ke berbagai daerah lain, seperti Uleelheu, Sabang, Sigli, Bireun, Takengon, Lhoksumawe, Lhoksukon, Idi, Peureulak, dan Aceh Tamiang. Selain itu, juga sampai ke wilayah provinsi Sumatera Utaran, seperti Medan, Tanjung Pura, Rantau Prapat, Berastagi, dan Asahan (Rahmadhana, 2020).

 Sejak 1991, bangunan ini ditetapkan sebagai cagar budaya nasional.

5. Menara Air (Kolonial Water Toren)  

Menara Air Bangunan Peninggalan Belanda di Banda Aceh. Foto: ajnn.net
Menara Air Bangunan Peninggalan Belanda di Banda Aceh. Foto: ajnn.net
Menara ini terletak di jalan Balai Kota Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Didirikan pada masa kolonial Belanda pada tahun 1880. 

Semasa penjajahan Belanda, menara ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan dan pendistribusian air bersih di Kota Banda Aceh. 

6. Pendopo Gubernur

Pendopo Guberur Aceh. Foto: kemendibud.go.id
Pendopo Guberur Aceh. Foto: kemendibud.go.id
Bangunan ini terletak di Kelurahan Peuniti Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh, dibangun pada tahun 1880. Pendopo Gubernur ini berdiri di atas tanah milik negara dengan luas 7.750 M² ke arah Utara. 

Dari sisi konstruksi bangunan ini, menampakkan perpaduan antara arsitektur Eropa dan Tradisional. Ciri tradisional tampak pada bentuk pendopo ruang setengah terbuka, didominasi bahan bangunan dari kayu serta ornamen-ornamen yang menghiasinya.

Sementara itu, interior yang terbuat dari kaca-kaca hias yang memunculkan kekhasan nuansa Eropa yang sangat kental.

7. Gereja Katolik 

Gereja Katolik di Banda Aceh. Foto: ichsanamri.blogspot.com
Gereja Katolik di Banda Aceh. Foto: ichsanamri.blogspot.com

Gereja Katolik pertama kali dibangun di Banda Aceh pada 28 Januari 1874 oleh Jenderal Van Swieten. Sampai saat ini, gereja ini masih difungsikan oleh umat Kristen Katolik yang ada di Banda Aceh.

8. Gedung Baperis

Gedung Baperis Banda Aceh. Foto: kemendibud.go.id
Gedung Baperis Banda Aceh. Foto: kemendibud.go.id
Gedung Baperis dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1883, dimana hampir bersamaan dengan selesainya pembangunan Pendopo Gubernur yang terletak persis di sebelahnya.

Bangunan ini terbuat dari batu dan kayu. Pada saat kolonial berfungsi sebagai kantor Gubernur Belanda dan kantor keuangan. Saat ini, digunakan sebagai Gedung Juang, yakni Kantor Veteran RI angktan 45 dan PPABRI (Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

10. Gedung Juang Langsa

Gedung Balee Juang. Foto: acehtourism.travel
Gedung Balee Juang. Foto: acehtourism.travel

Gedung Juang atau disebut juga dengan Gedung Balee Juang yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Kota Langsa, Aceh. 

Pada masa kolonial Belanda digunakan sebagai Gedung Dagang. Pada saat pergerakan perjuangan kemerdekaan, gedung ini direbut oleh pejuang kemerdekaan untuk dijadikan sebagai tempat perkumpulan. 

Pada tahun 1949, gedung tersebut dijadikan tempat percetakan uang nilai Rp.100 dan Rp.250. 

Banyak koleksi-koleksi bersejarah di museum ini, mulai dari barang-baran rumah tangga hingga benda-benda kerajaan kuno, seperti keramik kuno dan sejenisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun