Mohon tunggu...
Julianda Boangmanalu
Julianda Boangmanalu Mohon Tunggu... Lainnya - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk memahami dan suka pada literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aspek Hukum Perjanjian Perkawinan dan Bedanya dengan Kawin Kontrak

15 Agustus 2022   08:15 Diperbarui: 15 Agustus 2022   08:18 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pernikahan. Foto: amazingscience.news

Perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (YME), sebagaimana dijelaskan dalam UU Perkawinan. 

Dengan demikian tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

Dalam UU Perkawinan --UU No. 1 Tahun 1974-- istilah pernikahan disebut dengan perkawinan. Dalam bahasa sehari-hari atau berbagai literatur penyebutannya lebih familiar dengan istilah pernikahan. 

Adakalanya, dalam melangsungkan perkawinan kedua calon mempelai menyepakati beberapa hal yang diikat sebagai sebuah peranjian untuk dipatuhi bersama atau disebut dengan perjanjian perkawinan. 

Perjanjian perkawinan merupakan kesepakatan bersama kedua belah pihak (calon isteri dan calon suami) yang dibuat secara tertulis yang berisi tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama masa perkawinan berlangsung.

Dalam hukum perdata, perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden) diatur dalam Pasal 139 sampai Pasal 185 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam UU Perkawinan diatur dalam Pasal 29 dan Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 45 sampai Pasal 52.

Pada ketentuan tersebut, hanya dikenal dengan perjanjian perkawinan pra nikah --selanjutnya disebut perjanjian pra nikah (Prenuptial Agreement). Merupakan perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum melangsungkan perkawinan (pernikahan). 

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 diperkenankan perjanjian pernikahan pasca akad nikah (Postnuptial Agreement).

Dengan lahirnya putusan MK ini, maka perjanjian perkawinan dikenal dua macam, yaitu perjanjian pra nikah (Prenuptial Agreement) dan perjanjian pasca akad atau sudah berstatus suami isteri (Postnuptial Agreement).

Isi perjanjian perkawinan, bisa bermacam-macam dengan syarat tidak bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma susila. Misalnya, terkait dengan harta, utang piutang, warisan, hak asuh anak atau hak nafkah, atau hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan semasa perkawinan. 

Dalam melakukan perjanjian perkawinan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni:

  • perjanjian dibuat secara tertulis dan disahkan pegawai pencatat perkawinan atau notaris;
  • tidak bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma susila;
  • dapat dirubah bila disepakati kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga;
  • dapat dicabut atas persetujuan suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan dan pendaftaran tersebut diumumkan oleh suami isteri.

Adapun manfaat perjanjian perkawinan, diantaranya:

  • adanya perlindungan hukum terhadap harta yang dimiliki suami-isteri, termasuk harta bawaan atau harta bersama;
  • sebagai pedoman terkait hak dan kewajiban masing-masing suami isteri --sepanjang diatur dalam perjanjian perkawinan--dan tidak bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan;
  • melindungi anggota keluarga dari ancaman KDRT; 
  • dan sebagainya.

Terkait persyaratan dan tata cara pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan selengkapnya dapat dilihat pada surat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No.:B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 (dapat didownload disini). 

Dengan demikian, terkait perjanjian perkawinan dikenal dan diakui (dibolehkan) dalam hukum positif dan hukum Islam.

Sementara itu, ada istilah lain yang berkaitan dengan perjanjian atau kontrak dalam perkawinan yang sering dikenal dengan istilah kawin kontrak. 

Secara umum, kawin kontrak dipahami sebagai perkawinan yang dilakukan dengan perjanjian batas waktu tertentu, misalnya sehari, seminggu, sebulan atau setahun. Bila batas waktu telah berakhir, maka status perkawinan tersebut berakhir atau dapat diperbarui kontraknya dengan persetujuan kedua belah pihak.

Dalam Islam kawin kontrak dikenal dengan istilah kawin mut'ah. 

Fenomena kawin kontrak atau kawin mut'ah masih dianggap tabu oleh masyarakat bahkan terjadi penolakan karena dianggap sebagai prostitusi yang terselubung. 

Penolakan didasarkan karena kawin kontrak tidak memenuhi persyaratan perkawinan dan bertentangan dengan tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam UU perkawinan maupun dalam Islam.

Dalam UU Perkawinan ada 2 unsur utama perkawinan, yakni: pertama, adanya ikatan lahir dan bathin antara suami isteri, dan kedua, bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan YME.

Pelaksanaan kawin kontrak tidak bertujuan untuk adanya ikatan bathin dan tidak dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan YME. Karena kawin kontrak ditengarai hanya untuk kesenangan dan memuaskan hawa nafsu semata.

Karena tujuannya bukan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, maka kawin kontrak tidak menginginkan adanya regenerasi (kelahiran anak), tidak ada nilai ibadah, semata-mata untuk kebutuhan biologis semata. 

Selain itu, kawin kontrak tidak memenuhi persyaratan sahnya perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Ketentuan tersebut dinyatakan bahwa sahnya suatu perkawinan apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama.

Sehingga apabila perkawinan dilakukan tidak memenuhi syarat hukum agama masing-masing maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. 

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan --baik Prenuptial Agreement maupun Postnuptial Agreement-- diatur dan diakui secara hukum positif dan hukum Islam. Sedangkan kawin kontrak sebaliknya, tidak diakui secara hukum positif maupun hukum Islam, untuk itu harus dihindari dari praktek tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun