Perubahan terbesar terjadi pada tujuan penggunaan uang tersebut. Sang ibu menceritakan bahwa putranya kini tidak menghabiskan uang Rp15.000 itu untuk jajan. Sebaliknya, uang tersebut kini diarahkan untuk ditabung.
Anaknya melaporkan langsung kepada orang tuanya bahwa karena perutnya sudah kenyang setelah makan siang yang bergizi dari sekolah, godaan untuk membeli camilan atau makanan berat tambahan saat istirahat menjadi sangat minim.
Fokus pengeluaran pun bergeser. Jika dulu uang jajan digunakan untuk memenuhi rasa lapar atau sekadar ikut-ikutan teman, kini uang itu menjadi modal awal untuk belajar menabung. Inilah yang saya sebut sebagai efek samping positif dari program MBG.
Fenomena ini menunjukkan bahwa MBG tidak hanya sekadar program gizi, tetapi juga menjadi alat edukasi finansial yang efektif di lingkungan sekolah. Siswa belajar membuat skala prioritas: mana kebutuhan (makan siang sudah terjamin) dan mana keinginan (jajan tambahan).
Manfaat Ganda: Sehat Gizi, Sehat Dompet
Dampak positif dari perubahan kebiasaan ini dirasakan oleh berbagai pihak. Bagi siswa, mereka mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, tubuh lebih sehat karena asupan gizi harian terjamin dengan menu MBG yang sudah dihitung oleh ahli gizi. Kedua, dompet mereka menjadi lebih "sehat" karena uang saku harian tidak lagi tergerus untuk pembelian impulsif di kantin.
Bagi orang tua, program ini memberikan ketenangan ganda. Mereka tenang karena tahu anaknya makan bergizi di sekolah tanpa harus repot menyiapkan bekal, dan mereka juga tenang karena melihat anaknya mulai belajar mengelola uang dengan bijak. Pemberian uang jajan Rp15.000 itu kini bukan lagi sebagai dana konsumsi, melainkan dana investasi kecil untuk masa depan anak.
Cerita dari wali murid ini menjadi bukti nyata bahwa Program Makan Bergizi Gratis memiliki dimensi yang jauh lebih luas daripada sekadar pemenuhan kalori. Ia menanamkan kebiasaan baik: kedisiplinan finansial, pengendalian diri, dan kesadaran untuk menabung.
Orang tua siswa tersebut juga merasa bangga. Ia tidak perlu lagi repot-repot menasihati anaknya untuk berhemat. Perubahan itu terjadi secara alami, didorong oleh kondisi fisik (perut kenyang) yang menghilangkan motif untuk jajan.
Program MBG ini benar-benar memicu revolusi kecil dalam kebiasaan anak. Waktu istirahat yang tadinya identik dengan antrian di kantin dan transaksi cepat kini berpotensi menjadi waktu untuk bersosialisasi dan, yang terpenting, menyisihkan sisa uang saku harian.
Inilah mengapa "daftar jajan" anak di waktu istirahat langsung terselamatkan. Uang itu tidak hilang, melainkan dialihkan dari kantong pedagang jajan ke dalam celengan pribadi siswa. Sebuah perubahan yang patut dicontoh.