Saat kalender mendekati 20 Oktober 2025, kita akan menandai genap 1 tahun pemerintahan Prabowo Gibran.Â
Dalam kurun waktu tersebut, saya sebagai bagian aktif dari dunia pendidikan, mau tidak mau, harus mencatat dan mengevaluasi dua janji besar yang digembar-gemborkan sebagai program unggulan di sektor vital ini.Â
Janji ini menyangkut hajat hidup orang banyak, dari guru yang mengajar di kelas hingga anak-anak yang seharusnya menerima asupan terbaik.
Sayangnya, catatan di lapangan tidak seindah yang tertuang dalam program. Ada jurang lebar antara yang dijanjikan di atas kertas dan realita yang dirasakan di ruang-ruang kelas sekolah.Â
Dua program unggulan yang akan kita bedah secara sederhana ini adalah peningkatan kesejahteraan guru honorer dan program makan bergizi gratis (MBG).
Ini bukan tentang mencari kesalahan, melainkan tentang menagih kepastian dan mempertanyakan efektivitas program.Â
Sebab, kemajuan suatu bangsa sering kali diukur dari seberapa serius pemerintah menangani pendidikan dan para penggeraknya.Â
Sudah waktunya kita melihat, apakah janji manis di masa kampanye benar-benar diterjemahkan menjadi kebijakan yang berdampak nyata.
Janji Kesejahteraan Guru Honorer: Puasa di Tengah Harapan
Program peningkatan kesejahteraan guru honorer, baik yang bekerja di sekolah negeri maupun yang berstatus non-ASN, adalah salah satu janji yang paling dinantikan.Â
Bagi kami, janji ini adalah napas baru, harapan untuk melepaskan diri dari status yang sering disebut "pahlawan tanpa tanda jasa" yang dibayar seadanya.
Namun, memasuki akhir dari 1 tahun pemerintahan Prabowo Gibran, dampaknya masih nol.Â
Saya dan banyak guru honorer lainnya belum merasakan peningkatan kesejahteraan yang dijanjikan. Sedikit pun tidak ada kenaikan atau perubahan yang signifikan dalam hal penggajian atau tunjangan.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: kapan realisasi ini akan terwujud? Kami sudah sabar menunggu, tetapi kebutuhan hidup tidak bisa menunggu.Â
Guru honorer tetap datang setiap hari, mengajar dengan dedikasi penuh, sementara perut mereka (atau dompet mereka) terasa "berpuasa" dari janji peningkatan.
Kondisi ini menciptakan ironi yang mendalam. Di satu sisi, pemerintah mengakui peran vital guru. Di sisi lain, mereka menunda pemenuhan hak dasar para garda terdepan pendidikan.Â
Bagaimana mungkin kualitas pendidikan bisa maksimal jika para pengajarnya dibiarkan hidup dalam ketidakpastian ekonomi?
Kami tidak meminta kemewahan, hanya kepastian dan pengakuan yang layak atas pekerjaan kami. Kesejahteraan guru honorer bukan sekadar urusan uang, tapi juga tentang martabat dan keberlanjutan profesi ini.Â
Jika janji ini terus menguap, sulit bagi kami untuk mempertahankan semangat yang sama.
Janji itu terasa seperti "dongeng klasik" yang diceritakan berulang-ulang tanpa pernah sampai pada akhir bahagia.Â
Kami hanya bisa berharap, sebelum masa 1 tahun pemerintahan Prabowo Gibran benar-benar berakhir, akan ada langkah konkret, bukan sekadar pendataan dan wacana belaka.Â
Kami butuh kepastian kapan kenaikan ini akan masuk ke rekening, bukan hanya ke berita utama.
Ini adalah isu yang perlu segera diatasi. Mengingat besarnya jumlah guru honorer di seluruh Indonesia, janji yang mandek ini berpotensi menurunkan moral dan semangat juang di ribuan sekolah.Â
Guru yang sejahtera adalah kunci pendidikan yang maju. Tanpa itu, pondasi pendidikan kita akan terus rapuh.
Program Makan Bergizi Gratis: Antara Niat Baik dan Masalah di Lapangan
Program kedua yang juga menjadi sorotan tajam adalah Makan Bergizi Gratis (MBG). Secara ide, ini adalah program yang sangat bagus.Â
Memberikan asupan gizi yang layak kepada anak-anak sekolah adalah investasi langsung pada masa depan bangsa. Niatnya mulia, yaitu mencegah stunting dan meningkatkan fokus belajar.
Namun, implementasinya menuai masalah yang kompleks dan serius. Persoalan paling mengkhawatirkan adalah laporan keracunan massal di berbagai daerah.Â
Anak-anak yang seharusnya menerima gizi, malah berakhir "muntah" dan harus dilarikan ke rumah sakit. Ini adalah tragedi ironis.
Kasus keracunan ini menunjukkan adanya kelemahan fundamental dalam rantai pasok dan pengawasan mutu makanan.Â
Apakah bahan baku yang digunakan tidak higienis? Apakah proses pengolahannya tidak standar? Ini adalah pertanyaan serius yang harus dijawab tuntas oleh pelaksana program.
Selain masalah keamanan pangan, program MBG juga mengalami kelambanan yang luar biasa dalam eksekusi.Â
Buktinya, Menteri Keuangan sempat melontarkan ancaman bahwa anggaran MBG yang tidak terserap akan ditarik kembali. Ancaman ini adalah lampu merah yang menunjukkan betapa lambatnya birokrasi bekerja.
Kelambanan ini berakibat pada ketidakmerataan realisasi. Hingga saat ini, banyak sekolah yang seharusnya menjadi penerima manfaat, belum tersentuh program ini.Â
Sekolah kami, SD Plus Al Ghifari di Kota Bandung, misalnya, sudah lama didata dan dicatat untuk penyediaan MBG, namun hingga saat tulisan ini dibuat, makanan bergizi itu tak kunjung tiba.
Ketidakmerataan ini menimbulkan pertanyaan: mengapa program sebesar ini bisa bergerak begitu lambat? Apakah perencanaan di awal sudah matang? Atau apakah koordinasi antara kementerian dan daerah begitu rumit sehingga menghambat penyediaan logistik?
Program MBG berpotensi besar, tetapi jika masalah keracunan terus terjadi dan penyaluran lamban, program ini akan menjadi "drama" yang merusak citra dan menakutkan masyarakat.Â
Pemerintah harus belajar dari keluhan di lapangan, terutama terkait higienitas dan kecepatan penyaluran.
Sangat disayangkan, program dengan niat sebaik ini harus terganjal oleh masalah teknis yang seharusnya bisa diantisipasi.Â
Anak-anak tidak boleh menjadi korban dari ketidakdisiplinan dalam pengawasan mutu. Program harus cepat, merata, dan yang terpenting, aman.
Kesimpulan
Evaluasi singkat terhadap dua program unggulan di sektor pendidikan pada akhir 1 tahun pemerintahan Prabowo Gibran ini menunjukkan adanya kesenjangan serius antara janji dan realita. Kesejahteraan guru honorer masih terkatung-katung, membuat para pengajar "berpuasa" dari haknya.Â
Sementara itu, program Makan Bergizi Gratis, meskipun berniat baik, justru menghadapi masalah serius berupa keracunan dan kelambanan, menyebabkan anak didik di beberapa tempat "muntah" dan di tempat lain belum menerima apa-apa.Â
Pemerintah perlu segera membenahi koordinasi, pengawasan mutu, dan mempercepat realisasi janji, terutama yang menyangkut hajat hidup guru dan kualitas asupan gizi anak-anak, agar program unggulan ini tidak hanya menjadi wacana indah di atas kertas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI