Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

"Gerakan Nasi" ala Prabowo: Mengurai Ekonomi Politik Swasembada, Janji atau Realita?

14 Oktober 2025   06:49 Diperbarui: 14 Oktober 2025   06:49 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo menaiki traktor pemanen padi dalam Panen Raya Nasional, di Majalengka, (7/4/2025). | Dok. Biro Pers Sekret. Presiden via Kompas.id

Tujuannya adalah mengurangi biaya produksi, meningkatkan efisiensi waktu, dan menarik minat generasi muda untuk kembali menekuni sektor pertanian yang selama ini dianggap kurang menjanjikan.

Namun, visi ini tidak hanya terhenti pada sawah dan ladang. Infrastruktur pendukung, seperti bendungan, irigasi primer, sekunder, dan tersier, juga menjadi fokus investasi besar. 

Perbaikan dan pembangunan infrastruktur air dianggap kunci utama untuk mengurangi risiko gagal panen akibat kekeringan atau banjir, sekaligus menjamin pasokan air yang konsisten sepanjang tahun.

Singkatnya, "Gerakan Nasi" ini adalah sebuah grand design ambisius yang menggabungkan semangat nasionalisme, intervensi ekonomi yang kuat, dan pemanfaatan teknologi untuk mencapai kemandirian pangan. 

Ini adalah janji politik yang didasarkan pada perhitungan bahwa ketersediaan pangan adalah fondasi utama dari stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Swasembada

Secara ekonomi, program swasembada ini memerlukan alokasi anggaran yang sangat besar. Dana tersebut tidak hanya untuk pembelian alat dan infrastruktur, tetapi juga untuk subsidi pupuk, benih, dan jaminan harga pembelian pemerintah (HPP) yang menguntungkan petani. 

Peningkatan HPP adalah instrumen politik penting untuk memberikan insentif kepada petani agar mereka mau meningkatkan produksi.

Kebijakan HPP yang tinggi secara politik sangat populer di kalangan petani, yang merupakan kelompok pemilih signifikan. 

Namun, secara ekonomi, ini bisa memicu dilema. Jika HPP terlalu tinggi, maka harga jual beras di pasar eceran juga akan cenderung tinggi, yang pada akhirnya membebani "Dapur Rakyat" atau konsumen di perkotaan dan masyarakat miskin. Ini adalah titik sensitif dalam ekonomi politik pangan.

Intervensi pasar yang dilakukan oleh Bulog sebagai perpanjangan tangan pemerintah juga menjadi kunci. Bulog ditugaskan untuk menyerap gabah petani saat panen raya agar harga tidak jatuh, dan sebaliknya, melepas cadangan beras saat terjadi kelangkaan atau harga melonjak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun