Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Transmigrasi Berbuah Kopi: Kisah Inspiratif Keluarga Bandung Menempa Takdir di Bumi Lampung

8 Oktober 2025   13:35 Diperbarui: 8 Oktober 2025   13:35 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rutinitas ini berjalan tahun demi tahun, menjadi tulang punggung penghidupan mereka. Anak-anak yang sudah dewasa kini ikut membantu, menjadikan bisnis kopi ini sebagai warisan keluarga yang harus dijaga dan dikembangkan. Inilah kehidupan petani kopi sejati.

Ujian di Tengah Fluktuasi Harga Kopi

Namun, layaknya roda kehidupan, pekerjaan sebagai petani kopi juga penuh dengan suka dan duka. Sukanya terasa luar biasa ketika harga kopi sedang tinggi. 

Di momen ini, hasil kerja keras mereka terbayar lunas. Keuntungan yang didapat bisa digunakan untuk memperbaiki rumah, membeli peralatan pertanian yang lebih baik, atau menabung untuk masa depan.

Namun, dukanya datang tanpa terduga ketika harga kopi anjlok. Fenomena ini sering terjadi dan di luar kendali mereka. Seluruh kerja keras selama berbulan-bulan, dari menanam hingga memanen, bisa terasa sia-sia dalam sekejap karena pasar menentukan harga yang rendah.

Narasi ini mencatat salah satu masa sulit di mana harga kopi biji mentah hanya dihargai Rp 58.000 per kilogram, sementara harga tepung kopi hanya Rp 130.000. 

Padahal, jika sedang bagus-bagusnya, harga jual bisa jauh di atas angka tersebut. Fluktuasi ini adalah ujian mental yang paling berat.

Di saat harga anjlok, mereka harus berhemat, menunda rencana pembelian, dan terkadang berutang untuk menutupi biaya operasional kebun. Situasi ini menuntut kesabaran dan strategi yang matang. 

Mereka harus pandai menyimpan hasil panen, menunggu momen harga kembali membaik, atau mencari pasar lain yang menawarkan harga lebih stabil.

Meski diterpa badai harga, keluarga ini tidak pernah menyerah. Mereka melihat fluktuasi ini sebagai bagian dari risiko bertani yang harus diterima. Yang penting, kebun tetap terawat, dan siklus tanam terus berjalan. 

Tekad mereka lebih kuat daripada angka di papan harga. Mereka tetap bangga menjadi petani, karena dari tangannya lahirlah komoditas bernilai tinggi yang dinikmati banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun