Mereka berpegangan pada filosofi sederhana: berani pindah, harus berani sukses. Kegigihan inilah yang membuat mereka bertahan dan akhirnya mulai melihat hasil.Â
Kebun kopi mereka perlahan mulai menghasilkan panen yang layak, memberikan sinyal bahwa keputusan transmigrasi puluhan tahun lalu adalah pilihan yang tepat.
Keberhasilan diukur bukan dari harta benda yang melimpah, melainkan dari kemampuan menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak.Â
Momen ketika anak-anak bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik adalah bukti nyata bahwa pengorbanan di tanah rantau itu tidak sia-sia. Kopi bukan hanya tanaman, tapi perantara rezeki yang membuka pintu masa depan.
Siklus Kopi dan Rutinitas Harian di Kebun
Kehidupan keluarga ini kini sepenuhnya terikat pada siklus alam dan pohon kopi. Setiap tahapan pekerjaan dijalankan dengan disiplin tinggi, mulai dari pembibitan yang dilakukan di bawah naungan, hingga penanaman yang membutuhkan ketelitian agar bibit tumbuh kuat.
Pemeliharaan adalah pekerjaan rutin yang memakan banyak waktu. Pemangkasan dilakukan agar pohon fokus menghasilkan buah, bukan hanya daun. Pemberian pupuk dan pengendalian hama dilakukan secara teratur. Semua langkah ini adalah investasi waktu dan tenaga untuk panen di masa depan.
Ketika musim pemanenan tiba, seluruh keluarga turun tangan. Buah kopi yang matang sempurna berwarna merah cerah dipetik satu per satu. Proses ini membutuhkan ketelatenan agar kualitas biji kopi tetap terjaga. Mereka tahu, kualitas biji akan menentukan harga jual.
Langkah terakhir adalah penjualan. Ini adalah momen penentuan rezeki. Biji kopi yang sudah kering kemudian dijual, baik dalam bentuk biji mentah (green bean) maupun diolah menjadi bubuk kopi tepung.Â
Seluruh proses ini, dari hulu ke hilir, dikerjakan sendiri oleh keluarga ini, menjadikan mereka pemilik penuh atas produk yang dihasilkan.