Kamis, 25 September 2026 Kota Bandung merayakan Milangkala ke-215 sejak didirikan pada 25 September 1810.Â
Usia dua abad lebih ini adalah catatan sejarah yang panjang, penuh dengan kisah kejayaan, sebutan-sebutan manis, dan tentu saja, pekerjaan rumah yang tak kunjung usai.Â
Kota ini dikenal sebagai "Paris van Java" karena keindahan arsitektur kolonial dan kesejukan udaranya. Ia juga dijuluki "Kota Kembang" karena pesonanya.Â
Namun, di tengah gemerlap perayaan hari jadi ini, muncul sebuah pertanyaan penting, sanggupkah Bandung lepas dari nostalgia masa lalu dan fokus pada tantangan masa kini?Â
Sebagai warga Bandung, kebanggaan itu tetap ada, tetapi mata dan hati kita juga harus terbuka melihat realitas yang menanti perbaikan.
Beban Nostalgia dan Identitas Kota
Kota Bandung memiliki beban sejarah yang sangat berat, terutama julukan Paris van Java. Julukan ini memang membanggakan, tetapi juga seolah membatasi Bandung untuk berinovasi menjadi kota modern yang berbeda.Â
Kita sering terpaku pada masa lalu yang indah, alih-alih merancang masa depan yang berkelanjutan. Padahal, Bandung kini bukan lagi kota kecil yang tenang seperti dulu. Ia telah bertransformasi menjadi metropolitan padat, pusat pendidikan, dan ekonomi regional.
Jalan-jalan di pusat kota yang dulu sejuk kini dipenuhi kemacetan parah. Gedung-gedung bersejarah berdampingan dengan bangunan modern yang menjulang tinggi, kadang tanpa harmoni tata ruang yang jelas.Â
Nostalgia akan masa kolonial yang rapi dan indah seringkali membuat kita lupa bahwa populasi dan tantangan lingkungan Bandung telah berlipat ganda. Kepadatan penduduk menjadi pemicu utama banyak masalah kota yang ada sekarang.
Warga Bandung, termasuk saya, tentu menyukai kisah kejayaan di masa lampau. Namun, fokus berlebihan pada "romantisme" masa lalu justru bisa mengalihkan perhatian dari masalah mendesak di depan mata.Â