Di era serba digital ini, kita tak terkejut lagi melihat para pejabat kita asyik dengan gawai di tangan. Mereka hadir di berbagai acara, berinteraksi di media sosial, dan sibuk dengan agenda harian yang padat.Â
Namun, pertanyaan yang jarang mencuat dan perlu kita renungkan adalah di tengah kesibukan itu, seberapa banyak waktu yang mereka sisihkan untuk membaca buku?Â
Kebiasaan membaca buku, yang sejatinya adalah fondasi untuk melahirkan ide-ide besar dan kebijakan yang matang, seolah tergeser oleh hiruk pikuk panggung digital.Â
Kita menyaksikan pejabat dengan bangga memamerkan kemewahan, mobil mahal, dan jam tangan mewah, tetapi jarang sekali kita melihat mereka memamerkan tumpukan buku yang telah mereka baca.Â
Ironisnya, dari buku lah lahir pemahaman mendalam tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh rakyat. Tanpa membaca, seorang pejabat bisa jadi hanya bergerak tanpa arah, membuat kebijakan yang reaktif dan serba instan, tanpa memikirkan dampak jangka panjang.
Pejabat yang jarang membaca buku akan cenderung terjebak dalam pola pikir dangkal. Mereka hanya mengandalkan informasi yang ada di permukaan, dari berita viral atau obrolan singkat, tanpa pernah menggali lebih dalam.Â
Padahal, kompleksitas masalah negara tidak bisa diselesaikan dengan pemahaman yang sepotong-sepotong. Misalnya, untuk mengatasi kemiskinan, seorang pejabat tidak bisa hanya berbekal data statistik yang mudah didapat.Â
Mereka harus memahami akar masalahnya, sejarah kemiskinan di suatu wilayah, dinamika sosial dan budaya masyarakatnya, serta berbagai teori ekonomi yang relevan. Pemahaman ini hanya bisa didapat dari membaca buku-buku yang serius dan mendalam.Â
Tanpa literasi, kebijakan yang lahir bisa jadi hanya bersifat kosmetik, seperti proyek-proyek instan yang hanya bertujuan untuk pencitraan, tanpa benar-benar menyentuh inti persoalan.
Kita pun layak bertanya, jika membaca satu buku saja sudah terasa sulit, bagaimana seorang pejabat bisa mengelola negara dengan segala kerumitannya?Â
Memimpin sebuah negara bukan hanya soal mengelola anggaran atau mengatur birokrasi, tetapi juga tentang memahami psikologi rakyat, meramalkan tren global, dan merancang strategi yang visioner.Â