Skill masking adalah sebuah fenomena di dunia kerja di mana seseorang berpura-pura tahu atau mengerti sesuatu agar tidak terlihat bodoh atau kurang kompeten. Ini bukan sekadar perilaku malas atau kurangnya inisiatif, melainkan sebuah respons dari rasa takut yang mendalam.Â
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa perilaku ini menjadi begitu umum, terutama di kalangan Gen Z? Apakah itu hanya sekadar kepura-puraan, ataukah ada akar masalah yang lebih serius? dan yang paling penting, adakah jalan keluar untuk mengatasi hal ini?
Memahami Skill Masking di Kalangan Gen Z
Skill masking adalah tindakan menyembunyikan ketidaktahuan. Seseorang akan mengangguk saat rapat, menjawab "ya" ketika ditanya apakah mengerti, atau mencari informasi secara diam-diam di internet daripada bertanya kepada rekan kerja.Â
Semua ini dilakukan untuk menghindari anggapan bahwa mereka tidak tahu apa-apa. Ini adalah bentuk pertahanan diri yang bisa sangat merugikan. Bukannya belajar dari ketidaktahuan, mereka malah terjebak dalam lingkaran kepura-puraan.
Gen Z, atau mereka yang lahir dari pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, dibesarkan di era digital yang serba cepat. Mereka terbiasa dengan citra diri yang sempurna di media sosial, di mana setiap orang terlihat sukses, pintar, dan serba bisa. Tekanan ini terbawa ke dunia kerja. Mereka merasa harus selalu menampilkan kesan profesional yang tak bercela.
Dunia kerja yang mereka masuki juga sangat berbeda. Mereka menghadapi persaingan yang ketat dan ketidakpastian ekonomi yang tinggi. Banyak Gen Z yang merasa harus membuktikan nilai diri mereka dengan cepat agar tidak tergeser. Ketakutan akan resesi atau kehilangan pekerjaan membuat mereka merasa tidak aman.
Tekanan untuk serba bisa ini membuat mereka enggan menunjukkan kelemahan. Mereka takut jika terlihat tidak tahu, mereka akan dicap tidak kompeten, yang bisa berujung pada penilaian buruk atau bahkan pemecatan. Skill masking menjadi semacam perisai untuk melindungi diri dari penilaian negatif ini.Â
Ini bukan karena mereka tidak mau belajar, tetapi karena mereka merasa lingkungan kerja tidak memberikan ruang yang aman untuk mengakui kekurangan. Mereka akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar mandiri demi menghindari pertanyaan yang bisa memperlihatkan ketidaktahuan.
Menguak Akar Ketakutan: Kegagalan Psychological Safety
Perilaku skill masking bukanlah masalah personal, melainkan gejala dari lingkungan yang tidak sehat. Akar dari masalah ini seringkali adalah kurangnya psychological safety atau rasa aman secara psikologis. Ini adalah kondisi di mana seseorang merasa aman untuk mengambil risiko interpersonal tanpa takut dihakimi, dihukum, atau dihina.
Di lingkungan kerja yang memiliki psychological safety yang tinggi, karyawan merasa nyaman untuk bertanya, berbagi ide, dan mengakui kesalahan. Mereka tahu bahwa kritik yang diterima bertujuan untuk membangun, bukan menjatuhkan.Â
Sayangnya, banyak perusahaan belum memiliki budaya seperti ini. Budaya kerja yang kompetitif dan terkadang intimidatif membuat karyawan enggan untuk rentan. Mereka melihat atasan yang jarang menunjukkan kelemahan dan rekan kerja yang selalu terlihat serba bisa, yang membuat mereka merasa harus melakukan hal yang sama.
Ketika lingkungan kerja tidak aman, karyawan akan membangun pertahanan. Mereka akan menghindari komunikasi terbuka, terutama jika berkaitan dengan kekurangan mereka. Mereka lebih memilih untuk diam dan berpura-pura tahu daripada mengajukan pertanyaan yang bisa memperlihatkan bahwa mereka membutuhkan bantuan.
Kurangnya psychological safety juga menghambat inovasi. Ide-ide baru seringkali dimulai dari gagasan yang belum matang. Namun, jika karyawan takut untuk mengajukan ide-ide tersebut, perusahaan akan kehilangan potensi besar untuk berkembang dan berinovasi. Ini menjadi lingkaran setan: ketakutan memicu skill masking, yang menghambat pembelajaran dan inovasi, yang pada akhirnya membuat perusahaan tidak maju.
Pemimpin memiliki peran penting dalam menciptakan psychological safety. Mereka harus menjadi contoh. Pemimpin harus berani mengakui ketidahuan mereka sendiri, bertanya kepada tim, dan menunjukkan bahwa tidak ada salahnya untuk tidak tahu. Ketika seorang pemimpin berkata, "Maaf, saya tidak mengerti. Bisa jelaskan lagi?" itu akan membuka pintu bagi anggota tim untuk melakukan hal yang sama.Â
Mengakui kesalahan dan ketidaktahuan adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan. Pemimpin yang jujur dan otentik akan membangun kepercayaan, dan kepercayaan adalah fondasi dari lingkungan kerja yang sehat.
Jalan Menuju Keberanian: Peran Pemimpin dan Budaya Perusahaan
Untuk mengatasi skill masking, pemimpin harus mengambil peran aktif dan proaktif. Ini adalah tentang mengubah budaya dari atas ke bawah.
Membangun Budaya Bertanya: Pemimpin harus secara aktif mendorong pertanyaan. Adakan sesi brainstorming di mana ide-ide boleh disampaikan tanpa harus sempurna. Tanyakan secara rutin, "Apakah ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut?" Ini menunjukkan bahwa pemimpin menghargai pemahaman, bukan hanya kepatuhan.
Mengakui Kelemahan: Pemimpin perlu berani mengakui ketidaktahuan mereka sendiri. Misalnya, "Ini adalah hal baru bagi saya. Mari kita cari tahu bersama." Ini akan membuat karyawan merasa aman untuk tidak tahu dan meminta bantuan.
Mengubah Persepsi Kesalahan: Kesalahan harus dilihat sebagai peluang belajar, bukan alasan untuk menghukum. Alih-alih mencari siapa yang salah, fokuslah pada apa yang bisa dipelajari dari kesalahan tersebut agar tidak terulang di masa depan.
Membangun Hubungan Personal: Lakukan pertemuan empat mata secara rutin dengan setiap anggota tim. Gunakan waktu ini untuk berbicara tentang perkembangan, tantangan, dan kekhawatiran tanpa ada rekan lain yang mendengarkan. Ini akan menciptakan ruang aman bagi karyawan untuk berbagi secara jujur.
Menyediakan Sumber Daya: Pastikan karyawan memiliki akses ke pelatihan, mentor, atau sumber daya lain yang mereka butuhkan. Jika seorang karyawan tidak tahu cara menggunakan suatu program, pastikan ada tempat di mana mereka bisa belajar tanpa harus merasa malu.
Membangun lingkungan kerja yang aman secara psikologis adalah investasi jangka panjang. Itu mungkin butuh waktu, tetapi hasilnya akan sangat berharga. Karyawan yang merasa aman akan lebih produktif, kreatif, dan setia. Mereka akan lebih berani untuk mengambil risiko, berinovasi, dan berkontribusi secara penuh.
Kesimpulan
Skill masking bukanlah sekadar perilaku Gen Z, melainkan cerminan dari budaya kerja yang gagal. Di balik kepura-puraan mereka, tersembunyi rasa takut yang didorong oleh lingkungan kerja yang kurang memberikan psychological safety.Â
Untuk mengatasi hal ini, pemimpin harus mengambil peran aktif. Dengan membangun budaya yang aman, di mana kejujuran dihargai dan kesalahan dilihat sebagai peluang untuk belajar, kita bisa mengubah skill masking menjadi kesempatan untuk tumbuh.Â
Dengan begitu, karyawan, terutama Gen Z, tidak lagi merasa perlu bersembunyi. Mereka akan merasa bebas untuk menjadi diri mereka yang otentik, bertanya tanpa ragu, dan berkembang secara maksimal.Â
Akhirnya, skill masking bukanlah jalan buntu, melainkan sinyal bagi kita semua untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik tempat di mana keberanian untuk belajar lebih dihargai daripada kepura-puraan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI