Membangun Hubungan Personal: Lakukan pertemuan empat mata secara rutin dengan setiap anggota tim. Gunakan waktu ini untuk berbicara tentang perkembangan, tantangan, dan kekhawatiran tanpa ada rekan lain yang mendengarkan. Ini akan menciptakan ruang aman bagi karyawan untuk berbagi secara jujur.
Menyediakan Sumber Daya: Pastikan karyawan memiliki akses ke pelatihan, mentor, atau sumber daya lain yang mereka butuhkan. Jika seorang karyawan tidak tahu cara menggunakan suatu program, pastikan ada tempat di mana mereka bisa belajar tanpa harus merasa malu.
Membangun lingkungan kerja yang aman secara psikologis adalah investasi jangka panjang. Itu mungkin butuh waktu, tetapi hasilnya akan sangat berharga. Karyawan yang merasa aman akan lebih produktif, kreatif, dan setia. Mereka akan lebih berani untuk mengambil risiko, berinovasi, dan berkontribusi secara penuh.
Kesimpulan
Skill masking bukanlah sekadar perilaku Gen Z, melainkan cerminan dari budaya kerja yang gagal. Di balik kepura-puraan mereka, tersembunyi rasa takut yang didorong oleh lingkungan kerja yang kurang memberikan psychological safety.Â
Untuk mengatasi hal ini, pemimpin harus mengambil peran aktif. Dengan membangun budaya yang aman, di mana kejujuran dihargai dan kesalahan dilihat sebagai peluang untuk belajar, kita bisa mengubah skill masking menjadi kesempatan untuk tumbuh.Â
Dengan begitu, karyawan, terutama Gen Z, tidak lagi merasa perlu bersembunyi. Mereka akan merasa bebas untuk menjadi diri mereka yang otentik, bertanya tanpa ragu, dan berkembang secara maksimal.Â
Akhirnya, skill masking bukanlah jalan buntu, melainkan sinyal bagi kita semua untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik tempat di mana keberanian untuk belajar lebih dihargai daripada kepura-puraan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI