Di sini, para petani masih memegang teguh kearifan lokal dalam mengelola sawah mereka. Sistem irigasi yang tertata rapi dari zaman dulu masih berfungsi optimal, memastikan setiap petak sawah mendapatkan pasokan air yang cukup.
Model pertanian di Cicalengka cenderung mengandalkan pola tanam yang teratur, bergantian antara padi dan jagung. Pola ini tidak hanya menjaga kesuburan tanah, tetapi juga memberikan pendapatan yang stabil bagi para petani.Â
Padi Cicalengka terkenal dengan kualitasnya, sementara jagung yang dihasilkan menjadi sumber pakan ternak yang penting. Konsistensi inilah yang membuat Cicalengka menjadi salah satu lumbung padi dan jagung yang dapat diandalkan.
Para petani di sini memiliki pemahaman yang mendalam tentang siklus alam. Mereka tahu kapan waktu terbaik untuk menanam, memupuk, dan panen.Â
Keterbatasan lahan di sekitar area urban membuat setiap jengkal tanah sangat berharga, dan hal ini mendorong mereka untuk bekerja dengan sangat efisien.Â
Model ini menunjukkan bahwa kekuatan pertanian tidak selalu datang dari teknologi canggih, melainkan dari konsistensi, pengalaman, dan penghormatan terhadap alam.
Di Cicalengka, saya sering melihat para petani bergotong royong saat musim tanam atau panen tiba. Nilai-nilai sosial ini juga menjadi bagian integral dari model pertanian mereka.Â
Saling membantu, bertukar informasi, dan menjaga kebersamaan adalah fondasi yang membuat pertanian di sana tetap kuat, bahkan di tengah gempuran modernisasi.
2. Tarogong Kaler (Kabupaten Garut): Sentra Diversifikasi dan Komoditas Unggul
Berbeda dengan Cicalengka, Tarogong Kaler di Garut menawarkan pemandangan pertanian yang jauh lebih beragam. Jika Cicalengka fokus pada padi dan jagung, Garut adalah surga bagi sayur-mayur dan tembakau.Â
Posisi geografisnya yang berada di dataran tinggi membuat tanahnya subur untuk menanam berbagai jenis sayuran, dari sosin, kol, wortel, hingga kentang.