Setiap pagi, saat bel berbunyi dan gerbang sekolah terbuka, saya melihat pemandangan yang sama. Murid-muridku, anak-anak sekolah dasar yang penuh semangat, berdatangan dengan tas punggung dan senyum polos.Â
Pagi adalah waktu di mana cerita-cerita kecil dimulai, dan saya sebagai guru sering kali menjadi saksi dari hal-hal yang tak terduga. Saya suka mengamati mereka, mulai dari cara mereka berlari menuju kelas hingga kebiasaan mereka saat jam istirahat tiba.
Waktu istirahat adalah momen favorit saya untuk mengamati. Kelas yang tadinya ramai dengan suara pelajaran, tiba-tiba hening.Â
Sebaliknya, area luar kelas dan kantin menjadi pusat kegiatan. Ada yang asyik bermain bola, ada yang duduk santai sambil membuka bekal, dan banyak juga yang langsung menuju kantin.Â
Saya sering menghabiskan waktu di area ini, memastikan semua anak aman dan menikmati waktu istirahat mereka. Dari sinilah, saya mulai melihat kebiasaan-kebiasaan yang unik.
Saya sering melihat anak-anak membawa bekal dari rumah. Ada yang membawa nasi lengkap dengan lauk-pauknya, ada yang hanya membawa camilan ringan, dan tak jarang juga mereka membawa botol minum sendiri.Â
Saya sesekali bertanya, "Bekalnya enak, Nak?" atau "Berapa uang jajan hari ini?". Jawaban mereka beragam, tetapi selalu jujur dan polos. Ada yang membawa lima ribu, ada yang sepuluh ribu, jumlah yang wajar untuk anak seusia mereka.
Namun, perhatian saya lebih tertuju pada anak-anak yang membeli jajan di kantin. Kantin sekolah kami adalah tempat sederhana. Hanya ada satu penjual yang melayani banyak murid.Â
Saya sering mengamati bagaimana anak-anak berinteraksi dengan penjual kantin. Mereka membeli keripik, minuman segar, atau makanan ringan lainnya.Â
Transaksi berjalan seperti biasa, mereka memberikan uang, penjual memberikan kembalian, lalu mereka pergi. Namun, ada beberapa anak yang perilakunya berbeda, dan ini mulai membuat saya penasaran.
Saya melihat beberapa anak menolak uang kembalian mereka. Awalnya saya pikir mereka lupa atau terburu-buru.Â