Acara Muludan juga mengajarkan arti keikhlasan. Semua yang disajikan adalah hasil dari gotong royong dan sumbangan sukarela. Ada yang menyumbang kue, ada yang menyumbang tenaga, ada yang membantu menata kursi. Semuanya dilakukan dengan tulus, tanpa berharap balasan. Kebersamaan ini yang membuat setiap hidangan terasa lebih nikmat dan setiap momen terasa lebih berharga.
Kami juga percaya, menjamu tetangga adalah bentuk ibadah. Nabi Muhammad SAW sendiri sangat menganjurkan untuk berbuat baik kepada tetangga. Tradisi ini adalah cara kami mempraktikkan ajaran beliau dalam kehidupan nyata. Lebih dari itu, acara ini adalah bentuk rasa syukur kami kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan, terutama nikmat berupa kebersamaan dan persaudaraan.
Membumikan Jiwa dari Desa Ibu Dewi Sartika
Desa kami terletak di wilayah yang kaya akan sejarah, tempat Ibu Dewi Sartika berasal. Pahlawan nasional ini bukan hanya sosok yang dikenang, tapi juga inspirasi nyata. Beliau mengajarkan tentang pentingnya pendidikan, kebersamaan, dan keberanian. Nilai-nilai ini juga kami pegang erat dalam tradisi Muludan. Kami percaya, semangat pahlawan bisa diwujudkan dalam tindakan sederhana sehari-hari.
Membumikan jiwa berarti membuat ajaran agama menjadi praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Muludan bukan hanya tentang ceramah dan doa, tapi juga tentang bagaimana kami memperlakukan satu sama lain. Kami belajar dari tetangga yang sederhana tapi hatinya lapang, dari tetangga yang miskin harta tapi kaya akan kepedulian. Mereka adalah guru-guru kehidupan kami.
Acara ini juga menjadi ajang untuk memperkuat identitas kami sebagai warga Sunda yang menjunjung tinggi nilai-nilai silih asah, silih asih, silih asuh. Kami saling mengasah kemampuan, saling mengasihi, dan saling mengasuh. Hal ini tercermin dalam setiap obrolan, setiap tawa, dan setiap bantuan yang diberikan. Semangat ini adalah modal utama kami untuk menghadapi tantangan zaman.
Kami sadar, dunia terus berubah. Teknologi semakin canggih, jarak semakin dekat, tapi hubungan sosial kadang semakin renggang. Melalui tradisi Muludan ini, kami berusaha menjaga agar nilai-nilai kebersamaan tidak luntur. Kami ingin anak-anak kami tahu, bahwa kebahagiaan sejati tidak didapat dari gawai, tapi dari berkumpul dan berinteraksi langsung dengan sesama.
Kesimpulan
Pada akhirnya, tradisi Muludan di kampung kami bukan hanya sekadar perayaan keagamaan, melainkan juga wadah untuk memperkuat silaturahmi dan membumikan nilai-nilai kebaikan. Dengan "Muludan Sebelum Silih Mulud," kami belajar bahwa kebaikan tidak harus menunggu bulan berikutnya. Ia harus dipupuk setiap saat, dari desa yang telah melahirkan pahlawan besar seperti Ibu Dewi Sartika. Tradisi ini adalah pengingat bahwa kehangatan sebuah keluarga tidak hanya ada di dalam rumah, tapi juga di setiap rumah tetangga yang berbagi cerita, tawa, dan doa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI