Harga-harga kebutuhan pokok terus naik, sementara daya beli masyarakat tidak ikut naik. Ini adalah ketimpangan yang sangat ironis.
Wakil rakyat seharusnya menjadi perwakilan suara rakyat. Mereka dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Seharusnya, mereka berpikir tentang rakyat dulu. Kalau rakyatnya sudah sejahtera, baru mereka boleh ikut sejahtera.Â
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Para wakil rakyat justru sibuk memikirkan kesejahteraan mereka sendiri, sementara rakyat yang memilih mereka malah terlunta-lunta.
Tunjangan yang melambung tinggi di tengah kesulitan rakyat adalah penghinaan. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki empati sama sekali.Â
Mereka hidup di dunia yang berbeda, di mana uang bukan lagi masalah. Mereka tidak merasakan bagaimana rasanya berjuang untuk mencari uang. Mereka tidak merasakan bagaimana rasanya hidup dengan pendapatan pas-pasan.
Situasi ini semakin parah dengan sikap dan komunikasi para wakil rakyat yang terkesan asal-asalan. Banyak dari mereka yang asal bicara, tanpa memikirkan dampaknya. Ada juga wakil rakyat yang terang-terangan menghina rakyat.Â
Sikap seperti ini semakin memicu kemarahan publik. Mereka tidak hanya tidak peduli, tetapi juga merendahkan rakyat yang seharusnya mereka layani.
Rakyat tidak bodoh. Mereka melihat, mendengar, dan merasakan semua ketidakadilan ini. Mereka tidak akan tinggal diam. Mereka akan melawan ketidakadilan ini.Â
Mereka akan mengingatkan para wakilnya tentang siapa yang seharusnya diutamakan. Kenaikan tunjangan ini adalah contoh nyata ketidakpedulian yang sudah kelewat batas.
Suara di Jalanan: Dari Kekuatan Kata Hingga Korban Nyata
Ketika suara di dalam gedung tidak didengar, maka suara itu akan menggelegar di jalanan. Gerakan ini adalah bukti bahwa kedaulatan rakyat masih hidup.Â