Kualitas animasi yang dianggap kurang jadi masalah utama yang disorot oleh penonton. Ini adalah hal yang wajar. Di era digital seperti sekarang, penonton sudah terbiasa dengan animasi-animasi kelas dunia seperti Pixar, Disney, atau Studio Ghibli. Tentu saja, sulit untuk membandingkan.Â
Tapi, setidaknya, ada standar minimal yang harus dipenuhi. Animasi yang baik itu bukan cuma soal gambar yang bergerak, tapi juga soal bagaimana gerakan itu bisa menyampaikan emosi. Soal bagaimana setiap detail kecil bisa membuat dunia di dalam film terasa hidup.
Dalam kasus film Merah Putih, dari cuplikan yang beredar, banyak yang merasa animasinya terlalu kaku. Gerakan karakternya terasa patah-patah, ekspresinya tidak natural. Padahal, film animasi itu kan kekuatan utamanya ada di visual. Kalau visualnya kurang, mau ceritanya sebagus apa pun, penonton juga jadi kurang tertarik.Â
Ini jadi PR besar buat para pembuat film animasi di Indonesia. Mereka harus bisa meningkatkan kualitas visual mereka. Mungkin bisa dengan belajar dari film-film luar, atau dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih.
Kritik ini memang pedas, tapi harusnya bisa jadi motivasi. Animasi Indonesia sebenarnya punya ciri khas sendiri. Ada banyak cerita-cerita lokal yang bisa diangkat. Tapi, cerita yang bagus harus didukung dengan visual yang juga bagus.Â
Jadi, ini bukan cuma soal kritik, tapi juga soal tantangan. Tantangan untuk bisa membuat film animasi yang tidak hanya menghibur, tapi juga punya kualitas yang bisa dibanggakan.
Sistem Ulasan dan Keterbukaan Publik yang Semakin Kuat
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dari kasus film Merah Putih ini adalah peran media sosial dan publik. Di era digital ini, setiap orang bisa jadi pengulas. Mereka bisa menyampaikan pendapatnya di media sosial. Dan, pendapat itu bisa menyebar dengan cepat.Â
Kritik yang tadinya cuma dari beberapa orang, bisa jadi gelombang masif yang mempengaruhi keputusan bisnis. Ini menunjukkan betapa kuatnya suara publik sekarang.
Film ini jadi bukti nyata bahwa penonton tidak bisa lagi diremehkan. Mereka punya kekuatan untuk mempengaruhi industri. Mereka bisa memboikot, mereka bisa memberikan ulasan buruk, dan itu semua bisa berdampak besar.Â
Makanya, para pembuat film harus lebih hati-hati. Mereka harus mendengarkan masukan dari publik. Mereka harus terbuka dengan kritik.