Di kaki Gunung Mandalawangi dan Pangradinan, sebuah drama pilu telah berlangsung selama empat bulan terakhir. Bukan drama rekaan, melainkan kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh para petani di Desa Narawita, tepatnya di Kampung Cicadas, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung.Â
Ladang-ladang yang menjadi tumpuan hidup mereka kini berubah menjadi medan pertempuran, bukan melawan hama biasa, melainkan melawan segerombolan monyet liar. Primata-primata ini datang tanpa kenal waktu, merusak dan melahap apa pun yang ada di hadapan mereka.Â
Singkong, jagung, pisang, labu hingga talas, tak ada yang tersisa dari keganasan monyet-monyet yang kelaparan. Ladang-ladang yang semula hijau dan subur kini porak-poranda, menyisakan kesedihan mendalam bagi para petani.
Konflik ini bukanlah sekadar gangguan musiman, melainkan sebuah krisis yang mengancam ketahanan pangan desa. Para petani yang sudah bersusah payah menanam, merawat, dan memanen kini harus pasrah melihat hasil kerja keras mereka lenyap dalam sekejap.Â
Serangan ini terjadi secara terorganisir dan terencana. Kawanan monyet datang dan pergi dengan cepat, membuat warga kesulitan untuk mengusir apalagi menangkap mereka. Anda Sukanda (61), salah seorang petani, hanya bisa menggelengkan kepala saat menceritakan penderitaannya.Â
Ladangnya, yang penuh dengan singkong dan labu, kini tinggal menyisakan batang-batang yang rusak. Pisang-pisang yang seharusnya sudah bisa dipanen pun habis tak bersisa. Ia dan petani lainnya merasa terdesak, tak tahu harus berbuat apa.
Kehadiran monyet-monyet ini diyakini berasal dari gunung-gunung di sekitarnya. Rusaknya habitat asli atau berkurangnya sumber makanan di hutan menjadi alasan utama mengapa primata ini nekat turun ke pemukiman.Â
Mereka mencari makan di ladang-ladang petani yang dianggap sebagai supermarket alam. Bagi monyet, ladang yang penuh dengan singkong dan jagung adalah sumber makanan yang melimpah dan mudah dijangkau. Namun bagi petani, itu adalah bencana besar.Â
Satu kebun singkong bisa ludes dalam satu hari. Bayangkan, kerja keras berbulan-bulan hilang dalam hitungan jam. Para petani merasa dilema, mereka tidak bisa membunuh monyet-monyet tersebut karena dilindungi. Tapi di sisi lain, mereka harus mempertahankan hidup dan ladang mereka.
Ketidakberdayaan para petani semakin menjadi-jadi karena mereka merasa tidak memiliki alat yang memadai untuk melawan. Pagar yang mereka pasang mudah diterobos. Suara-suara keras dan petasan pun hanya efektif sesaat.Â
Monyet-monyet ini pintar, mereka tahu kapan harus datang, yaitu saat petani lengah. Kadang mereka datang pagi hari saat petani belum ke ladang, kadang siang hari saat petani sedang istirahat, dan kadang sore hari menjelang magrib.Â