Setiap pagi, jutaan orang di kota-kota besar mulai bergerak. Mereka berbondong-bondong menuju stasiun, halte, atau pangkalan angkot. Di dalam ruang sempit yang bergerak itu, kita bertemu dengan orang-orang yang tidak kita kenal.Â
Bus, KRL, MRT, dan angkot bukan lagi sekadar alat transportasi, melainkan sebuah ruang publik yang dinamis. Di sinilah, tanpa kita sadari, kita berinteraksi dan menunjukkan siapa kita sebenarnya sebagai bagian dari masyarakat. Inilah tempat di mana etika di transportasi umum menjadi lebih penting dari sekadar tiket fisik.
Ruang ini menjadi cerminan dari peradaban kita. Apakah kita saling menghargai ataukah sibuk dengan urusan kita sendiri tanpa peduli orang di sekitar?Â
Pertanyaan ini mungkin terdengar sepele, tetapi jawabannya menentukan apakah perjalanan kita akan terasa nyaman atau justru penuh ketegangan.Â
Perjalanan yang baik bukan hanya tentang tiba di tujuan tepat waktu, tetapi juga tentang bagaimana kita menghabiskan waktu di dalamnya.
Saat kita berada di transportasi umum, kita adalah bagian dari sebuah komunitas kecil yang terikat oleh tujuan yang sama. Kita semua ingin sampai di tempat tujuan dengan selamat dan nyaman. Kunci untuk mencapai hal itu bukan hanya ada di tangan operator atau pemerintah, tetapi juga ada di tangan kita masing-masing.
Perilaku Kita di Balik Jendela Kaca
Pernahkah kita perhatikan orang-orang di sekitar kita saat naik bus atau KRL? Ada yang sibuk dengan ponselnya, ada yang tertidur, ada yang mengobrol, dan ada pula yang asyik membaca buku. Di tengah keramaian itu, berbagai macam perilaku muncul.Â
Ada penumpang yang dengan sigap memberikan tempat duduknya untuk ibu hamil atau lansia. Ada juga yang pura-pura tidak melihat saat ada orang yang membutuhkan. Kejadian-kejadian seperti ini, sekecil apapun, sebenarnya adalah ujian bagi empati dan kepedulian kita.
Ruang transportasi umum seperti sebuah panggung terbuka. Setiap orang memainkan perannya masing-masing. Ada yang menjadi pahlawan kecil dengan tindakan baiknya, dan ada juga yang menjadi sumber ketidaknyamanan bagi orang lain.Â
Misalnya, suara telepon seluler yang terlalu keras, atau tas ransel yang memenuhi ruang gerak penumpang lain. Semua ini adalah contoh nyata dari kurangnya kesadaran akan etika di transportasi umum.