Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka dari Pemborosan, Menuju Toiletku, Ladang Amalku: Gerakan Hemat Energi Berkah dari Anak Sekolah

15 Agustus 2025   07:27 Diperbarui: 15 Agustus 2025   07:33 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah seorang siswi SD Plus Al Ghifari Kota Bandung sedang mempergunakan kran air toilet sekolah. | Dok. Pribadi/Jujun Junaedi

Melihat Kebiasaan Buruk: Tantangan di Balik Pintu Toilet

Sebagai seorang guru Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di SD Plus Al Ghifari Kota Bandung, saya sadar bahwa pelajaran tentang lingkungan tidak hanya ada di buku. Justru, pelajaran paling berharga sering kali muncul dari hal-hal kecil di sekitar kita. 

Salah satu tantangan terbesar yang kami hadapi adalah kebiasaan buruk yang sering terlihat di toilet sekolah. Banyak siswa, tanpa sadar, melakukan pemborosan energi yang sebenarnya sangat merugikan. Saya dan rekan-rekan guru lainnya sering melihatnya secara langsung.

Setiap kali saya melewati area toilet di pagi hari, saya sering mendapati lampu-lampu masih menyala terang. Meskipun cahaya matahari sudah cukup untuk menerangi ruangan, lampu-lampu itu tetap dibiarkan menyala. 

Pemborosan listrik ini bukan hanya terjadi sekali, tapi hampir setiap hari. Listrik yang terbuang sia-sia ini adalah sumber daya yang seharusnya bisa digunakan lebih bijak. Saya tahu, ini bukan karena mereka sengaja, tapi lebih karena belum terbentuknya kesadaran.

Selain lampu, masalah pemborosan air juga sangat nyata. Kebanyakan siswa sering lupa menutup kran air dengan rapat setelah mencuci tangan atau berwudu. 

Tetesan demi tetesan air yang terus jatuh dari kran yang bocor atau tidak tertutup sempurna itu, jika dikumpulkan, jumlahnya bisa sangat besar dalam sehari. Air adalah sumber daya yang sangat berharga, dan membiarkannya terbuang percuma adalah tindakan yang kurang bijak.

Kebiasaan buruk ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada biaya operasional sekolah. Meskipun terlihat kecil, pemborosan air dan listrik yang terus-menerus bisa meningkatkan tagihan bulanan sekolah. 

Dengan kata lain, uang yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli buku baru atau memperbaiki fasilitas lain, terpaksa harus digunakan untuk membayar biaya pemborosan yang tidak perlu. Ini adalah kerugian yang seharusnya bisa kita hindari bersama.

Saya menyadari, mengubah kebiasaan bukanlah hal yang mudah. Diperlukan waktu, kesabaran, dan pendekatan yang tepat. Saya dan rekan-rekan guru lainnya di SD Plus Al Ghifari percaya bahwa pendidikan lingkungan harus dimulai dari hal-hal yang paling dekat dengan keseharian siswa.

Toilet sekolah adalah tempat yang sangat ideal untuk memulai. Toilet yang bersih dan nyaman adalah awal yang baik, tetapi toilet yang juga hemat energi adalah langkah menuju kebaikan yang lebih besar.

Merdeka dari Abai: Gerakan Kecil yang Mengubah Segalanya

Melihat kondisi pemborosan yang terus terjadi, saya dan rekan-rekan guru memutuskan untuk bertindak. Kami ingin menanamkan semangat Merdeka dari sikap abai dan pemborosan. 

Kami ingin para siswa merasa merdeka dari kebiasaan buruk yang merugikan. Caranya tidak perlu rumit atau mahal. Kami memulainya dengan gerakan sederhana yang kami sebut "Gerakan Hemat Energi Berkah dari Anak Sekolah".

Langkah pertama yang kami lakukan adalah dengan memberikan edukasi secara rutin. Setiap saat, kami berusaha untuk memberikan contoh yang baik. Jika kami melihat kran air terbuka, kami akan menutupnya dengan rapat sambil menjelaskan kepada siswa yang ada di sana mengapa hal itu penting. 

Jika kami melihat lampu menyala di siang hari, kami akan mematikannya dan mengingatkan mereka. Kami mencoba untuk selalu memberi contoh, karena kami percaya, tindakan lebih kuat daripada kata-kata.

Selain itu, kami juga membuat kampanye visual yang sederhana dan mudah dipahami. Kami tidak membuat spanduk besar, tapi hanya menempelkan stiker dan poster kecil di dinding-dinding toilet. 

Poster-poster itu berisi pesan-pesan singkat seperti "Tutup Kran Rapat-Rapat, Biar Air Tidak Menangis!" atau "Matikan Lampu Saat Keluar, Biar Bumi Tersenyum!". Kami menggunakan bahasa yang ramah anak dan mudah diingat, sehingga pesan itu bisa terus menempel di benak mereka.

Kami juga mengajak siswa untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan ini. Kami menunjuk "Duta Lingkungan" dari setiap kelas secara bergantian. Tugas mereka sederhana, yaitu mengingatkan teman-teman mereka untuk hemat air dan listrik di toilet. 

Dengan cara ini, mereka tidak hanya menjadi pelaku, tapi juga menjadi agen perubahan. Mereka merasa bangga karena bisa ikut berperan dalam menjaga lingkungan sekolah.

Respon dari siswa-siswi sangat luar biasa. Mereka mulai saling mengingatkan. Ketika ada teman yang lupa, mereka akan bilang, "Hei, lampunya dimatiin dong!" atau "Kran airnya ditutup, nanti banjir!" Suara-suara kecil ini adalah bukti bahwa pesan-pesan yang kami sampaikan mulai meresap. 

Mereka tidak lagi merasa terpaksa, tapi melakukannya dengan kesadaran dan keikhlasan. Mereka mulai merasakan bahwa tindakan kecil mereka bisa mendatangkan berkah bagi lingkungan.

Menjadikan Toiletku Ladang Amalku: Semangat Berkah dan Kebaikan

Gerakan ini tidak hanya bertujuan untuk menghemat air dan listrik, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan yang lebih dalam. Kami ingin para siswa memahami bahwa setiap tindakan baik yang mereka lakukan, sekecil apa pun itu, memiliki nilai ibadah. 

Menghemat air dan listrik, dalam pandangan kami, adalah bentuk amal yang sangat nyata. Itu adalah amal yang bisa mereka lakukan setiap hari tanpa perlu mengeluarkan biaya.

Kami menjelaskan kepada mereka, "Menutup kran air dengan rapat adalah bentuk syukur atas nikmat air yang Allah berikan. Mematikan lampu saat tidak digunakan adalah bentuk tanggung jawab kita sebagai manusia untuk menjaga sumber daya alam." 

Dengan cara ini, mereka tidak hanya melihat hemat energi sebagai tugas, tetapi sebagai kesempatan untuk berbuat kebaikan dan mendapatkan pahala. Ini menjadikan gerakan ini lebih bermakna dan berjangka panjang.

Konsep "Toiletku, Ladang Amalku" menjadi pegangan kami. Kami ingin mereka melihat toilet tidak lagi sebagai tempat yang jorok atau tempat yang harus dihindari, tetapi sebagai tempat di mana mereka bisa menanamkan amal-amal kebaikan. 

Ini adalah cara kami untuk mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan lingkungan secara praktis. Setiap kali mereka menghemat air atau mematikan lampu, mereka tahu bahwa mereka sedang berbuat baik dan mendapatkan pahala.

Gerakan ini ternyata membawa dampak positif yang lebih luas. Para siswa yang sudah terbiasa hemat energi di toilet mulai membawa kebiasaan baik itu ke rumah. Beberapa orang tua bercerita bahwa anak-anak mereka sekarang lebih peduli dengan penggunaan air dan listrik di rumah. 

Mereka mulai mengingatkan orang tua mereka sendiri untuk mematikan lampu atau menutup kran. Ini adalah bukti bahwa pendidikan di sekolah bisa menjadi jembatan untuk perubahan di rumah dan masyarakat.

Kami percaya, dengan semangat Merdeka dari pemborosan dan sikap abai, anak-anak SD Plus Al Ghifari bisa menjadi generasi yang lebih peduli dan bertanggung jawab. Mereka tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktikkan kebaikan dalam setiap langkah kecil mereka. 

Setiap tetes air yang mereka hemat, setiap watt listrik yang mereka matikan, adalah berkah yang akan terus mengalir. Toilet sekolah, yang dulunya adalah tempat pemborosan, kini telah berubah menjadi ladang amal yang subur.

Kesimpulan

Pada akhirnya, gerakan hemat energi di toilet sekolah adalah sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana perubahan besar bisa dimulai dari hal-hal kecil. 

Dengan semangat Merdeka dari pemborosan dan sikap abai, serta menanamkan konsep bahwa setiap tindakan baik adalah amal, kami berhasil mengubah kebiasaan siswa-siswi di SD Plus Al Ghifari. 

Dari toilet yang sering menjadi tempat pemborosan, kini ia telah menjadi ladang amal yang menyuburkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. 

Melalui edukasi yang konsisten dan keteladanan, kami yakin bahwa gerakan kecil ini akan menumbuhkan generasi yang lebih peduli, bertanggung jawab, dan penuh berkah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun