Di banyak kasus, anak-anak terpaksa melepaskan seragam mereka untuk membantu orang tua bekerja, mencari nafkah, atau bahkan merantau demi memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Mereka memilih menggenggam cangkul, sabit, atau alat kerja lainnya, alih-alih menggenggam buku dan pena.
Lingkungan sosial dan budaya juga memainkan peran yang signifikan. Di beberapa daerah, pernikahan dini masih dianggap sebagai solusi atas masalah ekonomi. Anak perempuan, khususnya, seringkali dipaksa untuk menikah di usia muda, yang secara otomatis mengakhiri perjalanan pendidikan mereka.Â
Lingkungan yang kurang peduli terhadap pendidikan atau minimnya motivasi dari orang tua juga bisa membuat anak-anak merasa bahwa sekolah bukanlah prioritas utama. Ketika pendidikan tidak dianggap sebagai hal yang penting, maka mudah bagi anak untuk melepaskan seragam mereka.
Selain itu, kualitas pendidikan yang kurang memadai juga bisa menjadi pemicu. Jarak sekolah yang jauh, sarana dan prasarana yang terbatas, serta metode pembelajaran yang kurang menarik bisa membuat anak-anak merasa jenuh dan enggan untuk melanjutkan sekolah.Â
Ditambah lagi dengan masalah perundungan atau pergaulan bebas yang bisa membuat mereka merasa tidak nyaman di lingkungan sekolah. Masalah-masalah ini secara tidak langsung mendorong anak-anak untuk mencari jalan keluar, dan jalan keluar termudah adalah dengan meninggalkan bangku sekolah.
Tingginya angka siswa yang drop out juga menunjukkan adanya masalah dalam sistem pendampingan. Mungkin saja ada siswa yang mengalami kesulitan belajar, tekanan dari lingkungan, atau masalah pribadi lainnya yang tidak terdeteksi oleh pihak sekolah.Â
Ketika masalah ini tidak ditangani dengan baik, siswa merasa sendirian dan akhirnya menyerah. Situasi ini menunjukkan bahwa sekolah tidak hanya harus menjadi tempat untuk belajar, tetapi juga menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi perkembangan mental dan emosional siswa.
Konsekuensi dan Dampak Jangka Panjang
Jumlah 25.000 anak putus sekolah bukan hanya sekadar masalah statistik yang bisa diabaikan. Ini adalah bom waktu sosial yang siap meledak di masa depan. Anak-anak yang melepaskan seragam mereka cenderung memiliki keterampilan terbatas dan sulit bersaing di dunia kerja.Â
Mereka akan terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit dipecahkan. Kondisi ini bisa menciptakan generasi yang rentan terhadap eksploitasi, kriminalitas, dan masalah sosial lainnya.
Secara ekonomi, semakin banyak anak yang putus sekolah, semakin sulit bagi Garut untuk mencapai kemajuan. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang paling berharga.Â