Ironi, memang. Indonesia, sebuah negeri yang katanya kaya raya, 'gemah ripah loh jinawi', dengan sumber daya alam melimpah ruah dan potensi manusia yang tak terhingga, faktanya masih bergulat dengan ketersediaan lapangan kerja yang sangat terbatas, bahkan cenderung sulit didapat. Kondisi ini seperti teka-teki yang tak kunjung terpecahkan. Bagaimana bisa, sebuah negara dengan segala anugerahnya, justru membuat warganya kesulitan menemukan penghidupan yang layak melalui pekerjaan formal?
Lebih tragis lagi, saat ini negara kita sedang berada di fase efisiensi anggaran. Kebijakan ini, suka atau tidak suka, berdampak buruk bagi dunia usaha secara luas. Imbasnya nyata: banyak perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Ini bukan sekadar PHK biasa, melainkan gelombang besar-besaran yang merambah berbagai sektor. Ribuan, mungkin jutaan, orang harus kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan.
Namun, anehnya, di tengah kesulitan yang terpampang jelas ini, pihak yang berwenang justru mengklaim bahwa dunia kerja di Indonesia baik-baik saja, bahkan melejit. Klaim ini terasa kontradiktif, bahkan menyesakkan. Realitas di lapangan sungguh pahit. Gelombang pengangguran terus membengkak, dan lapangan kerja tetap sulit dicari. Seolah ada dua dunia yang berbeda: dunia statistik pemerintah dan dunia nyata masyarakat.
Pihak terkait memang berusaha keras membuka 'job fair' atau bursa tenaga kerja. Ini adalah upaya yang patut diapresiasi. Namun, sayangnya, hasilnya seringkali jauh dari harapan. Jumlah lowongan kerja yang tersedia, betapapun banyaknya, tetap tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja yang membludak. Banyak pelamar yang datang dengan asa, harus pulang dengan tangan hampa, merasakan penolakan demi penolakan.
Inilah juga yang dialami Asri. Gadis berusia 26 tahun ini berasal dari Desa Jatiroke, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Sejak tamat dari SMK beberapa tahun lalu, Asri belum pernah sekalipun mencicipi bagaimana rasanya bekerja di dunia formal. Setiap kali ia mencoba melamar pekerjaan, pintu selalu tertutup. Berkas lamarannya selalu saja berakhir di tumpukan penolakan. Padahal, Asri punya ijazah yang cukup, bekal pendidikan yang seharusnya bisa membawanya masuk ke dunia kerja.
Penolakan demi penolakan itu tentu memukul Asri. Rasa frustrasi pasti menghinggapi. Namun, takdir berkata lain. Di samping rentetan penolakan dari dunia kerja formal, Asri justru menemukan jalan lain. Ia memutuskan untuk membantu orang tuanya berjualan hasil pangan lokal. Pilihannya jatuh pada labu.
Maka, dimulailah perjalanan baru Asri. Setiap hari, ia berjualan labu di sebuah jongko sederhana di pinggir jalan Tanjungsari Sumedang. Lokasinya strategis, tepat di depan SPBU Al Ma'soem Ciromed Sumedang. Mungkin bagi sebagian orang, berjualan labu di emperan jalan terdengar remeh atau tidak bergengsi. Namun, bagi Asri, ini adalah peluang, sebuah pintu yang terbuka ketika pintu-pintu lain tertutup rapat.
Asri tidak sekadar berjualan. Ia melakukannya dengan kesungguhan. Labu-labu yang dijajakannya selalu segar dan berkualitas. Ia ramah kepada setiap pembeli, melayani dengan senyum tulus. Sedikit demi sedikit, labunya mulai dikenal. Pengguna jalan yang sering melintas pun mulai terbiasa mampir ke jongko Asri. Labu-labu Asri memang diminati, seolah ada daya tarik tersendiri yang membuat orang berhenti dan membeli.
Dari hasil berdagang labu inilah, roda kehidupan Asri mulai berputar. Ia tidak lagi menggantungkan diri pada lowongan kerja yang tak kunjung datang. Asri mampu hidup mandiri. Dari labu yang ia jual di pinggir jalan, ia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, tanpa perlu membebani orang tua. Ini adalah pencapaian yang luar biasa, mengingat betapa sulitnya mencari pekerjaan di usia produktif seperti dirinya.
Namun, pencapaian Asri tidak berhenti sampai di situ. Yang paling mengharukan dan menginspirasi adalah ketika Asri, dari keuntungan berjualan labu, mampu mengumrahkan kedua orang tuanya. Bayangkan, seorang gadis muda yang pernah merasakan pahitnya penolakan HRD, kini bisa mewujudkan mimpi terbesar orang tuanya untuk beribadah ke Tanah Suci. Ini bukan sekadar soal uang, tapi lebih kepada bakti dan cinta yang tulus, diwujudkan dari hasil keringat dan kegigihan berjualan labu.
Kisah Asri ini menjadi bukti nyata bahwa rezeki memang tidak melulu datang dari jalur yang kita harapkan. Ketika satu pintu tertutup, Tuhan akan membuka pintu-pintu lain, mungkin dari arah yang tak pernah kita duga sebelumnya. Penolakan dari HRD, yang dulu terasa seperti akhir segalanya, justru menjadi titik balik bagi Asri untuk menemukan potensi dan kemandiriannya yang sebenarnya. Ia tidak lagi mengejar "naskah" yang sudah umum, melainkan menulis "naskah" kehidupannya sendiri.