Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PLH: Mengajarkan Anak Cara "Berbicara" dengan Sampah dan Mengelolanya dengan Bijak

25 Juni 2025   12:48 Diperbarui: 25 Juni 2025   12:48 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SD Plus Al Ghifari Bandung sedang asyik berkreasi dengan barang bekas dalam pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup. | Dokpri/Jujun Junaedi

Di balik kesibukan hiruk pikuk sekolah, di antara tumpukan buku pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, atau IPA, ada satu mata pelajaran yang mungkin sering terlewatkan perhatiannya: Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH). 

Khususnya di tingkat sekolah dasar, PLH tidak sekadar mengajarkan teori tentang lingkungan, tetapi berpotensi besar untuk mengubah cara pandang anak-anak terhadap salah satu masalah terbesar di sekitar kita: sampah. 

Lebih dari itu, PLH sebenarnya sedang mengajarkan anak-anak cara "berbicara" dengan sampah, memahami keberadaannya, dan mengelolanya dengan bijak.

Mungkin terdengar aneh, "berbicara" dengan sampah. Tentu saja, ini bukan berarti anak-anak benar-benar mengobrol dengan tumpukan botol plastik atau sisa makanan. Frasa ini adalah sebuah metafora, kiasan. 

Ini berarti PLH membimbing anak-anak untuk memahami asal-usul sampah, perjalanan sampah setelah dibuang, dampaknya pada lingkungan, dan apa yang bisa kita lakukan terhadapnya. 

Ini adalah bentuk komunikasi yang mendalam, bukan verbal.

Memahami Asal-Usul Sampah: Langkah Pertama "Berbicara"

Langkah pertama dalam "berbicara" dengan sampah adalah memahami dari mana ia berasal. 

Dalam pelajaran PLH, anak-anak diajarkan bahwa setiap barang yang kita gunakan, dari kemasan makanan hingga pensil yang sudah habis, pada akhirnya akan menjadi sampah. 

Mereka belajar tentang jenis-jenis sampah, seperti organik dan anorganik, serta contoh-contohnya dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, guru PLH bisa membawa berbagai contoh sampah ke kelas. Ada kulit pisang, kertas bekas, botol plastik, dan kaleng minuman. Anak-anak diajak untuk mengamati, menyentuh, dan bahkan mencium. 

Mereka belajar membedakan mana yang bisa membusuk dan mana yang tidak. Ini adalah awal dari percakapan, sebuah pengenalan mendasar terhadap "bahasa" sampah.

Perjalanan Sampah dan Dampaknya: Mendengarkan "Keluh Kesah" Sampah

Setelah memahami asal-usulnya, PLH kemudian membimbing anak-anak untuk "mendengarkan keluh kesah" sampah. 

Mereka belajar tentang perjalanan sampah setelah dibuang. Ke mana perginya sampah yang mereka buang di tempat sampah? Apakah langsung hilang begitu saja?

Materi PLH akan menjelaskan bagaimana sampah bisa menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), mencemari tanah dan air, serta menimbulkan bau tak sedap. 

Anak-anak diajarkan tentang bahaya sampah plastik yang sulit terurai dan bisa merusak ekosistem laut, membahayakan hewan-hewan laut yang sering mengiranya sebagai makanan.

Lewat video, gambar, atau cerita, guru PLH menunjukkan dampak sampah yang tidak dikelola dengan baik. 

Bagaimana tumpukan sampah bisa menyebabkan banjir, bagaimana asap dari pembakaran sampah bisa merusak paru-paru, atau bagaimana limbah berbahaya bisa meracuni tanah. 

Ini semua adalah cara bagi anak-anak untuk "mendengar" dampak negatif dari perilaku membuang sampah sembarangan.

Mengelola dengan Bijak: Memberi "Solusi" pada Sampah

Setelah memahami asal-usul dan dampaknya, inilah bagian terpenting dari "berbicara" dengan sampah: mengelolanya dengan bijak. 

PLH mengajarkan anak-anak bahwa kita punya kekuatan untuk memberi "solusi" pada masalah sampah, bukan hanya menjadi korban.

Ada beberapa cara pengelolaan sampah yang bijak yang diajarkan dalam PLH:

Pertama, mengurangi (Reduce). Anak-anak diajarkan untuk mengurangi penggunaan barang-barang yang berpotensi menjadi sampah, terutama plastik sekali pakai. 

Contoh kegiatan nyatanya: membawa botol minum sendiri ke sekolah, membawa bekal makanan dengan wadah yang bisa dipakai ulang, atau membawa tas belanja dari rumah. 

Ini adalah langkah pencegahan paling awal, semacam "negosiasi" dengan sampah agar tidak terlalu banyak muncul.

Kedua, menggunakan kembali (Reuse). PLH mendorong anak-anak untuk mencari cara agar barang-barang yang sudah tidak terpakai bisa digunakan lagi untuk fungsi lain. 

Contoh kegiatan nyatanya: botol plastik bekas diubah menjadi pot tanaman atau tempat pensil, kardus bekas menjadi kotak penyimpanan, atau baju bekas yang masih layak pakai diberikan kepada yang membutuhkan. 

Ini adalah cara "memberi hidup kedua" pada sampah.

Ketiga, mendaur ulang (Recycle). Ini adalah proses mengubah sampah menjadi barang baru yang berguna. Anak-anak diajarkan untuk memilah sampah berdasarkan jenisnya: kertas, plastik, kaca, logam. 

Contoh kegiatan nyatanya: siswa mengumpulkan botol plastik bekas untuk dijual ke bank sampah, atau mengumpulkan kertas bekas untuk didaur ulang menjadi kertas baru. 

Guru juga bisa memfasilitasi kegiatan membuat kerajinan tangan dari bahan daur ulang, seperti tas dari bungkus deterjen atau kolase dari potongan kertas bekas. 

Ini adalah bentuk "transformasi" sampah.

Keempat, mengganti (Replace). Dalam konteks yang lebih luas, PLH juga memperkenalkan konsep mengganti produk yang kurang ramah lingkungan dengan alternatif yang lebih baik. 

Misalnya, memilih sedotan stainless steel daripada sedotan plastik, atau memakai piring dan gelas dari bahan yang bisa dicuci ulang daripada sekali pakai. Ini adalah "kesepakatan baru" dengan lingkungan.

Kelima, membuat kompos (Composting) untuk sampah organik. Anak-anak belajar bahwa sisa makanan, kulit buah, atau daun kering bisa diolah menjadi pupuk yang bermanfaat untuk tanaman. 

Contoh kegiatan nyatanya: membuat lubang biopori atau bak kompos kecil di lingkungan sekolah untuk mengolah sampah organik dari sisa makanan kantin atau daun-daun kering di halaman. 

Ini adalah cara "mengembalikan" sampah ke alam dengan cara yang baik.

Dari Kelas ke Aksi Nyata: Transformasi "Komunikasi"

Pelajaran PLH tidak hanya berhenti di teori. Guru-guru di sekolah dasar, termasuk di SD Plus Al Ghifari Kota Bandung, tentu berusaha menerapkan pembelajaran ini ke dalam aksi nyata. 

Momen pembagian rapor yang akan datang adalah refleksi dari proses belajar ini. Mungkin tidak ada kolom khusus "Kemampuan Berbicara dengan Sampah" di rapor, tapi kepedulian yang tumbuh akan terlihat dari perilaku anak.

Contoh kegiatan nyata yang bisa dilakukan dan memang sudah banyak dilakukan di sekolah-sekolah:

Piket Kebersihan Lingkungan Sekolah: Anak-anak bertanggung jawab membersihkan kelas, halaman, dan area sekolah, termasuk memilah sampah yang ditemukan.

Penerapan Bank Sampah Mini: Sekolah mendirikan bank sampah kecil di mana siswa bisa membawa sampah anorganik dari rumah untuk dikumpulkan dan dijual. Uang hasilnya bisa dipakai untuk kegiatan sekolah atau ditabung.

Proyek Daur Ulang Kreatif: Siswa membuat karya seni, mainan, atau barang berguna dari barang-barang bekas di bawah bimbingan guru.

Kampanye Anti-Sampah Plastik: Anak-anak membuat poster, spanduk, atau bahkan pertunjukan kecil untuk mengajak teman dan warga sekolah mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.

Penanaman Pohon dan Pembuatan Kompos: Siswa terlibat langsung dalam kegiatan penghijauan atau mengelola sampah organik menjadi pupuk untuk kebun sekolah.

Kunjungan Edukasi: Mengunjungi TPA lokal (jika memungkinkan dan aman), pusat daur ulang, atau kebun vertikal yang menggunakan kompos dari sampah organik.

Semua kegiatan ini adalah wujud nyata dari bagaimana anak-anak "berbicara" dengan sampah. 

Mereka tidak lagi melihat sampah hanya sebagai kotoran yang harus dibuang, tetapi sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan, atau setidaknya, masalah yang harus ditangani dengan bertanggung jawab.

Dampak Jangka Panjang: Generasi "Bijak Sampah"

Mengajarkan PLH dengan pendekatan ini memiliki dampak jangka panjang yang luar biasa. Anak-anak yang sejak dini terbiasa "berbicara" dan "mengelola" sampah dengan bijak akan tumbuh menjadi individu yang:

Lebih Peduli Lingkungan: Mereka. memiliki kesadaran tinggi terhadap isu-isu lingkungan dan dampaknya.

Bertanggung Jawab: Mereka memahami bahwa setiap tindakan mereka punya konsekuensi terhadap lingkungan.

Kreatif dan Inovatif: Mereka terbiasa mencari solusi untuk masalah sampah, bukan hanya mengeluhkannya.

Disiplin: Kebiasaan memilah dan membuang sampah pada tempatnya akan menjadi bagian dari karakter mereka.

Menjadi Agen Perubahan: Mereka bisa mempengaruhi keluarga, teman, dan komunitas untuk lebih peduli terhadap lingkungan.

Pada akhirnya, PLH bukan hanya sekadar mata pelajaran tambahan di sekolah. Ini adalah fondasi penting untuk membentuk generasi yang memiliki literasi lingkungan yang tinggi. 

Generasi yang tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga bijaksana dalam berinteraksi dengan alam, terutama dalam hal pengelolaan sampah. 

Mereka adalah "Eco-Warriors Cilik" yang siap menjaga bumi ini, satu sampah pada satu waktu, dengan "komunikasi" dan pengelolaan yang cerdas. 

Ini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bumi kita, yang berada di tangan mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun