Ketika nama Diponegoro disebut, yang muncul di benak kita biasanya perang, strategi gerilya, dan perlawanan heroik. Tetapi jarang ada yang bertanya: bagaimana hati seorang pangeran yang diasingkan, yang menolak tahta, yang merindukan keluarga, dan yang menangis melihat rakyatnya ditindas?
Inilah wajah lain Diponegoro yang sering terlupakan dalam buku teks. Ia memang panglima perang, tetapi juga seorang manusia dengan rasa dan luka. Melalui Babad Diponegoro, kronik otobiografis yang ditulis saat pengasingan di Manado, kita bisa menyaksikan sisi humanisme itu dengan jernih. Ia mencatat penderitaan rakyat kecil yang dirampas tanahnya, pajak mencekik, dan budaya Jawa yang terancam hilang. Ia menulis bukan hanya sebagai jenderal, tetapi sebagai manusia yang marah karena keadilan diinjak-injak.
Lebih menarik lagi, Diponegoro menolak menjadi raja. Bagi banyak orang, tahta adalah puncak cita-cita, tetapi baginya, kekuasaan bukan tujuan. Ia memilih berdakwah, menyepi, dan hidup sederhana di Tegalrejo. Keputusannya memperlihatkan teladan moral: kekuasaan tidak sebanding dengan martabat dan nilai kebenaran.
Babad juga menyingkap sisi rapuhnya. Diponegoro menuliskan keluh kesah, rasa sakit, bahkan kerinduannya kepada keluarga. Ia berbicara tentang rasa malu, perasaan kalah, tapi juga keteguhan bersandar pada Tuhan. Ia bukan tokoh mitologis tanpa cela, melainkan manusia yang terluka namun tetap berjuang.
Inilah yang seharusnya juga dihadirkan guru di ruang kelas. Selama ini, pembelajaran sejarah terlalu sering berhenti pada "peristiwa". Padahal terdapat juga hal lain yang tidak kalah penting, yaitu "pelaku dalam peristiwa" dengan kemanusiaannya. Sejarah bukan kumpulan angka tahun, tetapi kisah manusia yang bisa kita pahami dengan hati.
Membawa sisi humanisme Diponegoro ke kelas membuka ruang empati. Guru bisa mengajak siswa bertanya: Bagaimana perasaan Diponegoro ketika tanah leluhurnya dijadikan jalan tanpa izin? Mengapa ia menolak tahta yang sudah ada di depan mata? Apa yang paling ia rindukan dalam pengasingan? Pertanyaan-pertanyaan ini lebih kuat daripada sekadar "tahun berapa perang Jawa berlangsung."
Metode pembelajaran pun bisa dibuat kreatif. Misalnya dengan roleplay: seorang siswa berperan sebagai Diponegoro yang menulis surat, siswa lain sebagai rakyat jelata yang mengadu, atau keluarga yang ditinggalkan. Bisa juga dengan membaca kutipan pendek dari Babad Diponegoro lalu menuliskan refleksi pribadi. Cara-cara sederhana ini mengubah sejarah dari hafalan menjadi pengalaman emosional.
Pada akhirnya, melihat Diponegoro dari sisi humanisme bukan sekadar variasi ajar, melainkan upaya mengembalikan sejarah ke hakikatnya: kisah manusia. Guru sejarah yang berani keluar dari pola hafalan memberi siswanya bukan hanya pengetahuan, tetapi juga empati dan kebijaksanaan.
Diponegoro pun akhirnya tidak hanya hadir sebagai pahlawan perang, melainkan sebagai cermin kemanusiaan. Dan mungkin, di situlah letak nilai pendidikan sejarah yang paling sejati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI