Energi Awal yang Tulus
Kerusuhan belakangan ini tidak lahir dari ruang kosong. Ia bermula dari sebuah energi tulus: penolakan masyarakat terhadap tunjangan rumah Rp50 juta bagi anggota DPR. Kebijakan yang terkesan arogan di tengah kesulitan ekonomi rakyat memicu amarah kolektif. Ditambah lagi, kematian tragis Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tertabrak kendaraan polisi saat aksi berlangsung, membuat gerakan ini semakin bergelora. Visi awalnya jelas, menuntut transparansi, akuntabilitas, dan melawan kepentingan sempit yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Pergeseran Arah
Namun, sebagaimana sejarah sering mencatat, sebuah gerakan murni jarang bertahan lama dalam bentuk aslinya. Ketika semangat publik mulai beranjak, celah terbuka. Kelompok pemilik kepentingan melihat momentum ini bukan sebagai alarm koreksi, melainkan peluang. Mereka masuk, memungut bara yang tersisa, lalu menyalakan api baru dengan logistik, kerumunan bayaran, hingga buzzer digital. Isu yang semula fokus menekan pemilik kepentingan berubah kabur. Narasi bergerak dari soal keadilan menuju keributan yang dipicu oleh agitasi.
Rakyat Melawan Rakyat
Inilah titik paling rawan: rakyat tidak lagi bersatu menekan elite, melainkan saling berhadap-hadapan. Di jalanan, aparat menjadi benteng yang menghadapi demonstran. Sesama warga terbelah dalam opini, sebagian menuduh aksi merusak stabilitas, sebagian lagi menuding negara represif. Apa yang seharusnya menjadi perlawanan kolektif terhadap kepentingan sempit akhirnya berubah menjadi benturan horizontal.
Preseden dalam Sejarah
Fenomena ini bukanlah hal baru. Malari 1974 bermula dari idealisme mahasiswa yang menolak korupsi dan intervensi asing. Namun kerusuhan justru diarahkan pada minoritas Tionghoa, memberi legitimasi bagi lahirnya rezim yang lebih keras. Mei 1998 pun serupa: aspirasi reformasi dibajak, menghasilkan kerusuhan bernuansa rasial, membuat luka mendalam yang hingga kini masih terasa. Sejarah menunjukkan bahwa gerakan murni sangat rentan dibelokkan---dan yang paling sering jadi korban adalah rakyat sendiri.
Realitas Kekinian
Hari-hari terakhir, pola yang sama tampak berulang. Kerusuhan merebak di Jakarta, Bandung, Makassar, Surabaya. Aparat menggunakan gas air mata, dan water cannon. Di sisi lain, kelompok bayangan menunggangi situasi, memastikan kerumunan tak kehilangan amunisi. Narasi di media sosial dipenuhi framing, memicu kebencian, dan memperlebar jurang ketidakpercayaan. Sementara itu, tuntutan awal untuk menekan pemilik kepentingan semakin tenggelam.
Rakyat Menjadi Pion
Ketika situasi ini dibiarkan, rakyat hanya menjadi pion dalam permainan besar. Energi tulus masyarakat yang sejatinya diarahkan untuk memperbaiki sistem berubah menjadi bahan bakar konflik. Pemilik kepentingan tetap aman, sementara rakyat saling bentrok, aparat kehilangan kepercayaan, dan negeri makin terpolarisasi.
Jangan Hilang Arah
Gerakan sosial sejati selalu berangkat dari visi dan misi yang jelas. Namun tanpa kewaspadaan, ia bisa disusupi, diputar, bahkan dijadikan alat untuk mempertahankan status quo. Karena itu, masyarakat perlu bertanya: apakah kita masih melawan kepentingan sempit, atau justru sedang dipaksa melawan sesama rakyat?
Kesadaran ini penting. Tanpa itu, sejarah akan terus berulang: gerakan murni dibajak, rakyat menjadi korban, sementara pemilik kepentingan tetap duduk nyaman di kursi kuasanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI