Di era media sosial, kita hidup dalam banjir informasi yang tak pernah berhenti. Setiap hari, linimasa kita dipenuhi potongan video, kutipan pernyataan, atau gambar yang dipakai untuk mewakili realitas. Namun, di balik derasnya arus itu, ada sesuatu yang hilang: konteks. Informasi yang sepotong-sepotong membuat kita mudah salah paham, terprovokasi, bahkan terjebak dalam kebencian yang diproduksi oleh potongan teks yang belum tentu mencerminkan kebenaran utuh.
Teks vs. Konteks
Teks adalah apa yang kita lihat: kata-kata, gambar, atau video. Konteks adalah latar belakang, situasi, dan niat yang melingkupi teks itu. Dalam komunikasi, keduanya tidak bisa dipisahkan. Tetapi di media sosial, teks lebih sering dilepaskan dari konteks. Kata-kata yang netral bisa menjadi provokatif, pernyataan serius bisa dipelintir jadi lelucon, sementara pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan hilang begitu saja.
Budaya Serba Potong
Fenomena ini lahir dari budaya media sosial yang mendorong snackable content: informasi singkat, cepat, emosional, dan mudah dicerna. Algoritma lebih suka konten yang memicu reaksi instan, bukan penjelasan panjang yang memerlukan kesabaran. Akibatnya, publik hanya mengonsumsi fragmen narasi, bukan keseluruhan cerita. Apa yang viral lebih menentukan opini publik ketimbang apa yang benar.
Manipulasi dan Kepentingan
Potongan teks atau video tidak hanya muncul secara alami. Banyak pihak yang sengaja memanfaatkannya untuk kepentingan politik, ekonomi, bahkan ideologi. Hoaks dan deep fake memperparah situasi, membuat batas antara fakta dan ilusi semakin kabur. Chaos informasi bukan sekadar efek samping, tetapi strategi: membanjiri publik dengan versi-versi realitas sehingga orang lelah mencari kebenaran.
Narasi Penguasa sebagai Pemantik
Dalam kondisi ini, narasi pejabat publik justru sering menjadi bahan bakar. Ucapan yang keluar sembarangan, atau sikap yang tak terjaga, cepat sekali dipotong lalu dipelintir. Kita masih ingat bagaimana potongan video pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani ramai diperdebatkan, atau komentar Ahmad Sahroni yang dipotong seolah mewakili seluruh DPR. Bahkan, potongan video joget anggota dewan menjadi simbol betapa para elit dianggap tak peduli pada keresahan rakyat.