Mohon tunggu...
Julius Deliawan A.P
Julius Deliawan A.P Mohon Tunggu... https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Julius Deliawan A.P adalah seorang guru dan penulis reflektif tentang pendidikan, sejarah, kemanusiaan, sosial dan politik (campur-campurlah). Lewat tulisan, mencoba menghubungkan pengalaman di kelas dengan isu besar yang sedang terjadi. Mengajak pembaca bukan hanya berpikir, tetapi juga bertindak demi perubahan yang lebih humanis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Niat Melindungi Musisi Malah Memicu Antipati Publik

15 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 13 Agustus 2025   23:13 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://nasional.kompas.com/read/2025/08/07/16173841/polemik-pembayaran-royalti-skema-satu-tarif-dinilai-tak-bisa-diterapkan

Lebih buruk lagi, di era media sosial seperti sekarang, satu kebijakan yang dianggap "tidak masuk akal" bisa dengan cepat menjadi meme nasional. Hasilnya? Alih-alih membangun kesadaran untuk menghargai karya musik, LMKN justru memberi amunisi bagi publik untuk menertawakan, bahkan memusuhi, konsep royalti itu sendiri.

Pupuk atau Racun bagi Musik Indonesia?

Royalti seharusnya menjadi pupuk, memberi nutrisi bagi para pencipta agar terus berkarya. Tapi pupuk yang diberikan berlebihan atau di waktu yang salah bisa menjadi racun.

Kalau masyarakat sudah merasa "dipalak" atas hal-hal yang bagi mereka remeh seperti nyanyi di warung kopi atau memutar lagu dari YouTube di acara kecil maka pesan intinya akan hilang. Yang tersisa hanya rasa jengkel.

Dan jengkel adalah musuh utama bagi perkembangan musik. Karena dukungan publik adalah oksigen bagi industri kreatif. Kalau oksigen ini diracuni oleh rasa antipati, maka musisi yang mestinya diuntungkan malah ikut merugi.

 

Ketika Niat Mulia Butuh Strategi

Di titik ini, saya tidak meragukan niat LMKN. Saya percaya banyak di dalamnya yang benar-benar ingin melindungi hak cipta musisi. Tapi niat baik tanpa strategi komunikasi yang cerdas hanya akan menjadi bahan bakar untuk kemarahan publik.

Lihatlah bagaimana beberapa negara mengedukasi publik soal hak cipta: lewat kampanye kreatif, kerja sama dengan media, dan insentif positif. Di Jepang, misalnya, musisi sering terlibat langsung dalam sosialisasi. Mereka menjelaskan mengapa royalti penting, bukan sekadar memerintah untuk membayar.

LMKN, sayangnya, memilih jalur yang membuat publik merasa diawasi dan "ditarik biaya" tanpa kompromi.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun