Mohon tunggu...
Asaf Yo
Asaf Yo Mohon Tunggu... Guru - mencoba menjadi cahaya

berbagi dan mencari pengetahuan. youtube: asaf yo dan instagram: asafgurusosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Power Point Pengganti Buku Belajar

8 Maret 2021   12:04 Diperbarui: 8 Maret 2021   13:18 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kalau ditanya, enaknya mau nulis kapan ya, apa jawab anda? Apakah akan menulis sewaktu sedang ada tema yang lagi viral. Atau menulis karena lagi ingin menulis? Dulu sih saya selalu berpikirkan bahwa menulis itu kalau yang ditulis adalah sesuatu yang lagi viral pasti nilainya langsung tinggi. Saya mencoba menggunakan formula itu. Tiap kali ada hal yang sedang viral, saya mulai mencoba duduk di depan laptop dan berpikir apa yang saya akan tulis.

Namun, langkah itu gagal. Tema yang sedang viral, tapi kalau lagi tidak mood plus ditambah kerjaan yang banyak. Maka pikiran seolah buntu tidak mampu mengalir lancer susunan kata-katanya. PIkiran seerti mengembara di tempat lain dengan berbagai tugas yangharus segera diselesaikan yang akhirnya justru makin membuat pikiran terasa tergesa gesa tidak bisa lepas.

Akhirnya, baru bisa membuat tulisan dengan tema yang sudah basi tapi merasa nyaman untuk menulisnya. Itulah yang akhirnya saya pilih. Saya menulis sesuatu berdasarkan waktu yang saya punya dan tema yang saya tertarik untuk menulis walau tema itu sudah ketinggalan zaman.

Ide ini muncul kala saya melihat murid-murid saya dulu (sebelum pandemic sih hehehe) itu sangat amat mengandalkan power point gurunya untuk belajar. Banyak dari mereka yang tidak membuat catatan sendiri dan selalu bertanya," mr, apakah nanti Power pointnya dibagikan/ boleh minta PPT nya . Kalau dijawab gak boleh, pasti tidak bisa, tapi kalua dijawab boleh, mereka langsung malas membuat catatan dan langsung ramai. Dalam pikiran mereka, kenapa saya buat catatan, toh nanti tinggal belajar dari PPT. Kalau soal tidak ada di PPT maka itu salah gurunya, harusnya semuanya ditulis di PPT.Ya gak papa sih menggunakan power point dari gurunya. Tapi menjadi masalah besar kala mereka tidak mampu mengembangkan ide dari power point itu.

Maksudnya gimana? Kebanyakan murid yang saya tahu, adalah siswa yang berpikir bahwa power point adalah segala-galanya dan bisa mengganti kedudukan buku paket. Melihat buku paket (apalagi kalua bukunya tebal) itu sudah bikin malas anak untuk membaca. Sebagai gantinya adalah mereka meminta power point gurunya untuk belajar.Kalau test tidak ada bagian yang tertulis di power point maka menjadi masalah karena orangtua dan siswa bakal complain. Padahal tidak semua hal harus dituliskan di PPT. Tidak semua hal yang saya jelaskan harus saya masukkan ke dalam PPT.

Masalahnya mereka belajar dengan tata tulis yang sama persis dengan apa yang saya tulis di power point. Suatu pertanyaan yang sifatnya mendeskripsikan tidak mampu mereka lakukan. Mereka hanya akan menulis apa yang sudah saya tulis di PPT. Hal yang sering membuat saya gregetan dulu. Misalnya saja saya membuat tulisan dengan kalimat sangat sederhana mengenai tujuan pembentukan Perhimpunan Indonesia. Kalimat yang to the point missal untuk kemerdekaan. Maka begitu saya menanyakan soal itu, jawabannya adalah sama, untuk kemerdekaan. Kalau disalahkan bakal tidak mau karena di PPT tidak tertulis kalimat yang lengkap. Tapi kalau dibenarkan juga kok hati yang tidak sreg, karena itu masuk ke uraian jawabang dengan kalimat lengkap, bukan dengan kalimat pendek. Mereka tidak mampu membuat kalimat panjang dari kalimat pendek sesuai kemampuan mereka. Bahkan seringkali kalau ditanya lebih detail akan suatu hal dari poin yang ada di PPT, banyak siswa yang kelimpungan dan bingung dalam menjawab. Kadangkala jawabannya tidak nyambung dengan kalimat poin utama tadi.

Kemauan anak untuk membaca sangat lemah. Apalagi kalau bukunya dalam satu bab terasa tebal (padahal isinya hanya gambar gambar semata)ebenarnya tidak ada yang salah. Namun, anak-anak juga tidak terbiasa membuat ringkasan sendiri. Bagi mereka kalau sudah ada di dalam buku paket, buat apa membuat catatan lagi.

Begitu sudah masuk ke tes, maka baru kelimpungan karena mereka harus baca bab yang cukup tebal itu. Saya tiba-tiba ingat bahwa kemampuan membaca siswa di Indonesia menurut PISA memang cukup rendah disbanding negara-negara lain. Minat membaca mereka rendah karena mereka terbiasa menggunakan gadget mereka untuk membaca tulisan tulisan pendek di media social. Begitu diberikan tulisan yang panjang --panjang dalam satu bab langsung mereka seperti susah dalam menerima informasi dari buku paket itu.

Pernah saya mencoba untuk membuat power paragraph dengan memindahkan banyak isi buku ke power point, tapi kemudian saya berpikir, terus bedanya apa antara power point dan buku kalua isi yang ada dalam buku dipindahkan semua ke dalam power point? Power pont bagi saya memiliki makna bahwa hanya point/kata kata tertentu yang perlu ditulis dan dari situ dikembangkan menjadi sebuah cerita.bukan memindahkan seluruh paragraph yang ada di buku ke power point , karena namanya bukan lagi power point tapi power paragraph.

Bagaimana caranya untuk membuat anak tidak merasa tergantung dengan power point guru? Itu masih jadi pertanyaan. Diminta untuk membuat ringkasan pun mereka tidak mau. Membuat catatan kecil juga malas. Sering diminta untuk membuat mind map juga jatuhnya lebih ke ringkasan daripada memuat mind map. Hmmmm menjadi PR bagi saya agar mereka mau belajar lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun