Mohon tunggu...
Zefanya Kharisma Nugroho
Zefanya Kharisma Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rohingya: Muslim di Tengah Masyarakat Buddha Myanmar

6 Juli 2022   23:01 Diperbarui: 6 Juli 2022   23:09 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setelah kudeta militer yang membawa Jenderal Ne Win dalam kekuasaan di Myanmar pada 1958 dan 1962, kebijakan-kebijakan Myanmar berubah menjadi lebih ketat dan lebih keras kepada masyarakat Muslim, yang saat itu dipayungi oleh nama Rohingya (Thawnghmung, 2016). 

Salah satu yang paling problematik adalah hukum warga negara pada 1982 yang mengkategorikan Rohingya sebagai masyarakat Bangladesh dan bukan Myanmar. 

Permasalahan ini memuncak setelah dilakukannya kampanye militer Myanmar pertama untuk membasmi Rohingya melalui kampanye Naga min atau Dragon King (Thawnghmung, 2016). Kampanye ini dilakukan pada 1978 dan menyebabkan masyarakat Rohingya Myanmar terdorong hingga ke perbatasan Bangladesh. 

Kampanye ini mendorong kampanye-kampanye dan gerakan lain yang bersifat anti-Muslim dan anti-Rohingya sepanjang tahun 1990an. Ironisnya, gerakan-gerakan kekerasan ini dipimpin oleh para biksu yang menganut Buddhisme Ekstrim dengan membawa nosi legislasi anti-Muslim (Thawnghmung, 2016).

Konflik kembali memanas antara etnis Rakhine dan Rohingya pada 2012 akibat munculnya kasus pemerkosaan, perampokan, dan pembunuhan wanita Rakhine oleh tiga oknum etnis Rohingya (Kipgen, 2013; Mahmood, et al., 2016). Insiden selanjutnya terjadi kurang dari seminggu setelah pembunuhan ini, yakni pembunuhan 10 orang Muslim yang merupakan penumpang bus di kota Taun Gup pada 3 Juni. 

Kekacauan pecah di antara kedua etnis di beberapa wilayah seperti Sittwe, Maungdaw, dan Buthidaung. Pada 12 Juni, pemerintah mengumumkan keadaan genting di wilayah Rakhine untuk mencegah kekerasan berkelanjutan dan memulihkan hukum dan ketertiban (Kipgen, 2013). 

Pemerintah menilai, bahwa kekerasan yang terjadi antara kedua belah pihak, antara etnis Rakhine dan Rohingya diakibatkan oleh rasa saling tidak percaya satu dengan yang lainnya dan perbedaan keyakinan yang menjadi pelatuk bagi munculnya konflik dan sumber kemarahan antara masyarakat Buddhis dan Muslim. 

Pada awal 2013, para biksu Buddhis dari Gerakan 969 membawa ujaran-ujaran anti-Muslim di berbagai kota sehari sebelum terjadi kekerasan kepada masyarakat Muslim di daerah itu (Mahmood, et al., 2016).

Tanggapan dari pemerintah Myanmar pada permasalahan ini dinilai kurang memuaskan masyarakat internasional. Hal ini karena sikap pemerintah yang cenderung menunjukkan respons menolak untuk mengakui Rohingya sebagai etnis Myanmar yang menyebabkan masalah ini bukan menjadi masalah yang signifikan secara domestik (Mahmood, et al., 2016). 

Sikap pemerintah juga menghalangi bantuan internasional untuk masuk. Sikap dari pemerintah diperparah oleh fakta, bahwa Myanmar belum meratifikasi Statuta Roma dalam tindakan kemanusiaan berat seperti genosida, kekerasan pada manusia, dan kejahatan perang dan belum bergabung dengan International Criminal Court. Ketidakadaan Myanmar pada dua hal ini membuat badan hukum tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada Myanmar akan tindakannya. 

Dalam nada yang sama, Aung San Suu Kyi, pemenang pemilihan umum di myanmar juga tidak mengedepankan permasalahan Rohingya dan Rakhine sebagai permasalahan yang perlu diprioritaskan dan menjelaskan bahwa masyarakat Rohingya perlu kembali ke Bangladesh (Mahmood, et al., 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun