Mohon tunggu...
Joshua
Joshua Mohon Tunggu... Konsultan - Akun arsip

Akun ini diarsipkan. Baca tulisan terbaru Joshua di https://www.kompasiana.com/klikjoshua

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kehadiran MyTV dan Oase Televisi Ramah Perempuan

12 Februari 2019   14:07 Diperbarui: 12 Februari 2019   23:51 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kancah pertelevisian Indonesia kembali diramaikan oleh kehadiran pendatang baru (yang menurut saya tidak benar-benar baru), sebuah stasiun televisi yang mengkhususkan dirinya untuk pemirsa perempuan. Kenalkan, namanya MyTV (dibaca: mai-ti-vi).

MyTV (kependekan dari Mayapada Televisi), sesuai dengan nama grup pemiliknya, merupakan stasiun televisi besutan Dato' Sri Tahir, seorang crazy rich Surabayan yang sedang mencoba peruntungannya dalam bisnis media, setelah belakangan ini diketahui membentuk holding company baru yang menaungi beberapa anak usaha dengan fokus utama bisnis pertelevisian, baik berbayar maupun free-to-air.

Kanal yang mulai mengudara pada 1 Februari 2019 pukul 15:55 WIB silam ini mengusung visi untuk menjadi televisi yang menginspirasi dan memberdayakan kaum perempuan melalui tayangan yang dikurasi sesuai dengan minat dan kebutuhan kaum hawa di Indonesia, dengan segmen utama kelas B, C dan D berdasarkan skala yang lazim dipakai dalam  Nielsen media rating. 

Saya tidak bilang kanal ini benar-benar baru, lantaran MyTV sendiri adalah rebranding dari INTV (dibaca: in-ti-vi) yang sebelumnya fokus menjadi televisi keluarga seperti layaknya televisi nasional besutan MNC, Transmedia atau SCM (grup Emtek) yang sudah lebih dulu merajai industri pertelevisian nasional selama bertahun-tahun dengan kompetisi tanpa henti.

Dari Inspirasi Keluarga ke Pemberdayaan Perempuan

Sebagai informasi, INTV sebelumnya dimiliki oleh Netwave, sebuah perusahaan teknologi yang berfokus pada jasa internet, dengan nama awal Banten TV, dan bersiaran sejak Agustus 2006. 

Awalnya, INTV (sewaktu masih Banten TV) hanya bersiaran secara lokal di Provinsi Banten dan sekitarnya dan sebagian wilayah Jakarta melalui frekuensi UHF sejak 28 Agustus 2006. Isi programnya pun saat itu didominasi lebih banyak tayangan klip musik, berita lokal, dan sedikit acara yang berakar pada budaya Banten. Tidak banyak variasi yang Banten TV hadirkan dalam tayangannya.

Awal 2016 adalah sejarah baru bagi Banten TV seiring dengan perubahan namanya menjadi INTV. Perubagan nama ini diikuti dengan perluasan jangkauan ke beberapa kota beaar di Indonesia dan kanalnya merambah ke televisi berbayar dengan mengusung citra sebagai "televisi inspirasi". Program anak mulai mendominasi, mulai dari animasi luar negeri dengan sulih suara Bahasa Indonesia, hingga lagu anak-anak yang mulai jarang terdengar di layar kaca. 

Perlahan tapi pasti, citra INTV mulai bergeser tanpa menghilangkan "inspirasi" sebagai kata kunci dengan mulai merangkul segmen keluarga muda, seperti yang dilakukan GTV dan NET.

Oktober 2018, saat Tahir, bos grup Mayapada menukarkan dolar pribadinya yang ditaksir senilai Rp2 triliun ke Bank Indonesia, ia mengumumkan entitas baru dalam konglomerasi medianya. Setelah memiliki Topas TV dan Majalah Forbes Indonesia, dan pada Februari 2018 menjadi pengendali Majalah Elle Indonesia, portofolio bisnis media Tahir semakin bertambah dengan akuisisi RTV senilai 20% dari toyal saham dengan sisa saham mayoritas masih pada kongsinya, Peter Sondakh, pada Agustus 2018.

"Keajaiban" MyTV

MyTV hadir secara mendadak dengan waktu pengumuman yang lebih singkat, meskipun Tahir sebagai bos besarnya telah membocorkannya beberapa bulan sebelum resmi mengudara. MyTV sebagai brand telah menginvasi media sosial milik INTV dengan promosi bahwa mereka akan hadir sebagai kanal untuk "perempuan hebat", sebutan bagi para pemirsa mereka.

Saya mengatakan MyTV ini ajaib, karena saya merasa inilah televisi nasional berjaringan kesekian di Indonesia setelah Trans 7, MNCTV (dahulu TPI), GTV (dahulu Global TV), iNews (dahulu SUN TV dan Sindo TV) dan RTV (dahulu B Channel) yang rebranding tanpa siaran percobaan yang lebih "terang-terangan" dengan nama baru. 

Maksudnya, siaran percobaan dilakukan dengan memasang teks "simulasi" atau "siaran percobaan" pada digital on-screen graphic berupa logo atau nama saluran. 

Stasiun televisi berusia belia yang pernah bersiaran percobaan, meskipun singkat, sebut saja Kompas TV yang melakukan ini selama 9 hari jelang peluncurannya pada 9 September 2011 sewaktu belum menjadi televisi bergenre berita seperti sekarang, dan NET sewaktu masih bernama Spacetoon selama 16 hari siaran percobaan menjelang peluncurannya pada 23 Mei 2013.

Saya belum bisa menyimpulkan secara pasti, apakah siaran INTV pada hari-hari terakhirnya sebelum berganti rupa menjadi MyTV, dengan digital on-screen graphic yang berganti-ganti antara logo INTV dengan MyTV, adalah siaran percobaan MyTV atau bukan, karena program yang dibawakan rasanya masih INTV. 

Pemirsa awam seperti saya masih belum bisa meraba saat itu, apa saja program yang mau mereka usung. Padahal yang disiarkan bukan program asli MyTV yang hendak diusung dalam nama baru mereka.

Peluncuran sebuah stasiun televisi baru, apakah itu benar-benar baru ataupun rebranding dengan perubahan konsep dan segmen, idealnya memperkenalkan diri, visi dan misi mereka melalui siaran percobaan. 

Hal ini dimaksudkan agar secara teknis, lembaga penyiaran tersebut dapat mengevaluasi tayangan mereka selama periode percobaan, sehingga ketika mereka tayang sepenuhnya, kendala dan keluhan terkait teknis dan program dapat diminimalisasi, serta bagi sisi pemirsa, audiens dapat memiliki gambaran yang jelas tentang konsep dan distribusi konten yang ditayangkan, apakah sesuai dengan segmennya atau tidak. Hal ini penting, terutama bagi stasiun televisi nasional berjaringan.

Sisi regulasi yang lemah terkait kewajiban penyelenggaraan siaran percobaan dalam undang-undang penyiaran menjadi celah utama bagi keanehan yang satu ini. 

Seharusnya, stasiun televisi, entah itu milik swasta atau komunitas, wajib bersiaran percobaan selama 1 tahun sebelum izin siaran dapat diterbitkan oleh KPI di daerah bagi penyelenggara siaran berjaringan. KPI dapat melakukan evaluasi langsung terhadap lembaga penyiaran yang bersangkutan, dan menilai apakah layak diberikan rekomendasi izin penggunaan frekuensi atau tidak.

 Justru sebelum Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan DPR, stasiun televisi masih getol bersiaran percobaan sebelum bersiaran penuh. 

Satu yang masih saya ingat, Trans TV ketika kemunculannya, membutuhkan lebih dari 2 tahun untuk menyelenggarakan siaran percobaan yang terbatas di Jabodetabek sebelum memperluas jangkauan pemancarnya.

Keajaiban lain yang saya lihat dari MyTV adalah peluncuran nama barunya yang tidak seheboh "saudara"-nya, RTV, dahulu di 2014. Tidak ada grand launching yang meriah dengan konser bertabur talenta musik yang memanjakan telinga. 

Yang saya lihat hanyalah pergantian nama, logo, dan konten dengan total tanpa acara seremonial yang disiarkan layaknya televisi lain di Indonesia. 

TPI misalnya, dahulu saat diresmikan Presiden RI saat itu, Soeharto, televisi yang didirikan oleh Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut ini membuka perjalanannya dengan peresmian dan ujicoba siaran pendidikan langsung dari ruang kelas. 

Soeharto menanyakan kepada pelajar SMP yang tengah menonton TPI melalui telekonferensi, apakah mereka dapat menangkap isi tayangan dengan baik, dan mempelajari materi yang ditayangkan dengan seksama. 

Lain lagi dengan perubahan nama Sindo TV menjadi iNews TV dengan acara seremonial dalam awarding night bertajuk Indonesia Awards dengan konsep yang mirip dengan NET Indonesian Choice Awards.

Pada sisi lain, "keajaiban" MyTV saya amati dari perombakan manajemen perusahaan. MyTV dibawah PT Banten Media Global Televisi merestrukturisasi pimpinan perusahaan setelah Tahir menguasai mayoritas sahamnya, dan mendapuk sejumlah praktisi industri media yang lebih dulu bergabung dalam konglomerasi besar media lain di Tanah Air. Sebut saja ada Priscilla Diana Airin, yang dahulu merupakan petinggi MNC Media, menjadi managing director MyTV. 

Meski Airin bukan punggawa televisi pada pengalaman karir sebelumnya, namun sentuhannya di MyTV cukup bisa saya beri acungan jempol. Tak hanya Airin, banyak talenta dari grup MNC yang "bedol desa" ke MyTV seperti Dian Mirza dan Rio Pambudi yang rajin mengisi tayangan berita bertajuk iNews. 

Televisi yang diasuh Airin ini punya selera yang antimainstream bagi pemirsa perempuan. Kontennya dirancang untuk mendorong perempuan menemukan potensi dirinya dan menjadi wanita yang berdaya. 

Tayangan MyTV dikemas lebih informaif. Sayangnya program berita keras yang muncul dengan tajuk My News kontennya masih kurang relevan bagi pemirsa perempuan dihari-hari awal kemunculannya.

Tayangan Sehat atau Segmented?

Memang, Tahir bukan pengendali di RTV, tapi peristiwa akuisisi sebagian ini cukup membuat saya berasumsi jika Tahir mulai menaruh kepedulian yang besar pada televisi yang ramah pada anak dan perempuan. Seperti diketahui, program RTV banyak yang ramah anak dan mencuri hati pemirsanya. 

Sebut saja Dubi Dubi Dam dan Pesta Sahabat yang diproduksi sendiri, dan sejumlah tayangan animasi seperti Tayo The Little Bus. RTV juga pernah mendapat predikat Televisi Ramah Anak dari Komisi Penyiaran Indonesia pada 2017. Bayangkan, hanya dengan Tayo saja, RTV sudah meraup kue iklan yang cukup banyak pada jam utama ketika anak banyak menonton televisi. Bahkan, lagu tema Tayo berbahasa Indonesia yang diunggah pada kanal YouTube resmi RTV saja sudah ditonton ratusan juta kali! Sebuah angka yang sangat fantastis bagi lagu tema tayangan layar kaca di Indonesia saja.

Keprihatinan masyarakat terus membukit akan konten tayangan yang lebih banyak dianggap "merusak" moral generasi penerus bangsa dengan tingginya angka tayangan mengandung kekerasan, perundungan (bullying), percundangan fisik (body shaming), hipereksploitasi terhadap perempuan, pelanggaran privasi, promosi penggunaan obat dan narkotika, hingga mempromosikan perilaku negatif. 

Saya telah banyak membahas ini dalam beberapa artikel yang pernah saya tulis, misalnya tentang penghentian program YKS di Trans TV dalam "Mencari Suaka Hiburan di Udara" pada 2014 lalu, ataupun dalam kajian bersama jurnalis, pegiat media penyiaran, dan aktivis yang memperjuangkan tayangan sehat. 

Pada intinya saya dengan ketiga kelompok ini sepakat, bahwa kerangka berpikir kita, baik sebagai pekerja televisi maupun penikmat tayangan televisi, terhadap televisi itu sendiri, harus diperbaiki. 

Seperti yang CEO NET, Wishnutama katakan dalam sambutannya di NET 3.0, televisi lebih dari sebuah kotak yang menjembatani antara pekerja media dengan audiensnya tentang apa yang dilihat, didengar, dan dirasa dari sebuah karya yang tengah ditonton.

Kerangka berpikir kita tentang televisi, sebagaimana yang saya maksud, jika diperbaiki, tentunya akan mengubah pandangan dan tindak-tanduk semua pemangku kepentingan dalam membenahi sengkarut industri penyiaran, terutama penyediaan konten yang aman dan ramah untuk ditonton semua kalangan, bukan hanya penonton sesuai dengan segmennya.

Kita masih terjebak dalam oase kelam bahwa televisi spesifik gender dan televisi tersegmentasi sesuai usia dan segmen konsumen dapat menjadi pintu keluar terakhir bagi kejemuan hebat dalam industri ini. 

Lagipula, industri penyiaran bukan seperti industri makanan yang bisa selalu disegmentasi kelompok konsumennya, karena saking bebas dan diversenya industri ini. 

Penyiaran telah terelaborasi dengan berbagai kepentingan yang dapat membangun dan mengendalikan pola pikir pemirsa sebagai konsumen terakhir media. Mau seribu kanal serupa MyTV hadir di Indonesia pun takkan menyelesaikan masalah utama dari buruknya produksi konten televisi, yaitu paradigma, stigma, tendensi dan operasi dari stasiun televisi itu sendiri.

Maksudnya adalah, paradigma yang mendasari lahirnya sebuah program. Biasanya dalam praproduksi, stasiun televisi akan menentukan tujuan dan manfaat akademis dan empiris dari tayangan yang hendak dibuat. 

Tentunya stasiun televisi takkan membuat program yang tak bermanfaat bagi dua sisi: pemirsa, dan tentunya bagi si stasiun televisi itu sendiri. 

Tapi paradigma ini bisa tercemari oleh stigma terhadap jenis tayangan yang hendak dibuat, apakah itu sebelum atau sesudah program itu tayang. Contohnya, program hipnotis dengan embel-embel relaksasi yang sempat hits dan kemudian dibatasi oleh KPI.

 Sudah ada stigma pelanggaran privasi bagi program semacam ini. Tendensinya, sudah pasti rating, share, dan tentu saja iklan.

 Tiga hal (paradigma, stigma & tendensi) inilah yang kemudian menentukan tindak-tanduk stasiun televisi yang kemudian tercermin dari operasi produksi, pascaproduksi, dan penayangan konten, sehingga semua tendensi bisa terwujud dan terengkuh sepenuhnya oleh si lembaga penyiaran.

Kita tentunya tak bisa mengharapkan televisi ditonton oleh sebagian kalangan saja, seperti perempuan saja, karena itu terkesan diskriminatif. Pada prinsipnya tayangan yang dihasilkan lembaga penyiaran wajib memenuhi kriteria aman ditonton bagi semua usia dan golongan. Kita tak mungkin melarang anak kita menonton sinetron, atau kaum ayah yang gemar menonton kartun. 

Kita adakalanya juga tak dapat mengawasi anak setiap saat dalam menonton televisi, lebih-lebih jika sang anak tak sengaja menonton konten tayangan yang tidak sesuai dengan usianya, contohnya adegan bermesraan khas film dewasa yang tayang pada tengah malam.

Kehadiran kanal televisi yang spesifik gender seperti MyTV untuk perempuan, atau spesifik usia seperti Spacetoon untuk anak, bukanlah solusi tuntas akan mewujudnyatakan tayangan sehat yang lebih dari sekedar oase, jika paradigma, stigma, tendensi dan operasi industri televisi masih begitu-begitu saja: menjadikan rating, sharing dan keuntungan sebagai dewa yang begitu dipuja. Ujung-ujungnya, televisi hanya memuaskan pemodal dan pemilik usaha sebagai penguasanya. 

Padahal, perlu diingat, mereka menggunakan frekuensi milik publik yang mereka sewa setiap satu dekade dengan misi utama menjadi mata, telinga dan hati rakyat yang menontonnya. 

Tanpa embel-embel misi mulia itu, saya yakin pemerintah sebagai otoritas pemegang frekuensi pasti enggan mempersilahkan mereka menayangkan kontennya.

MyTV bisa saja menjadi alternatif konten tayangan yang ramah perempuan, sekaligus menjadi salh satu pintu keluar bagi kejemuan menonton televisi, jika oase konten ramah dan aman masih ada. 

Tetapi jika belajar dari apa yang saya analisis di atas, tak ada salahnya jika saya membenarkan Young Lex dan kawan-kawannya dalam lagu mereka dua tahun lalu, bahwa saat ini YouTube memang lebih dari TV.

Sekali lagi, saya ucapkan selamat mengudara dan sukses untuk MyTV.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun