Mohon tunggu...
Joseph Owen Lauw
Joseph Owen Lauw Mohon Tunggu... Siswa

keren

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Saat Berbenah Benar-Benar Dimulai

21 September 2025   23:09 Diperbarui: 21 September 2025   23:09 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika nalar publik tersandera fobia, hukum berputar di panggung, dan sumpah jabatan mengering, yang kita butuhkan bukan seremoni----melainkan teladan, transparansi, dan kerja sungguhan.

Ulat bulu dalam satire F. Rahardi bukan sekadar serangga, melainkan cermin psikologi sosial kita: rasa takut yang diproduksi, direplikasi, lalu diperjualbelikan. Di level warganya, kepanikan kecil diangkat menjadi kebijakan darurat; di level elit, kegaduhan dipakai sebagai kabut untuk menutupi masalah pokok seperti kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan konflik kepentingan pejabat. Satire itu menuding kebiasaan kita memelihara sensasi alih-alih menyentuh akar. (1)

Kerapuhan itu tampak dari gejala sehari-hari: forum resmi berubah jadi panggung gimmick, diskusi publik digiring oleh potongan video dan judul bombastis, sementara data dan argumen tak mendapat ruang. Akibatnya, energi kolektif terkuras pada perdebatan remeh, sedangkan isu vital---air bersih, harga pangan, keselamatan kerja---tersisih. Kita terbiasa reaktif, bukan reflektif; mudah tersulut, sulit menyusun prioritas.

Karena itu, "jalan pulang" yang ditawarkan Rahardi bersifat praktis sekaligus etis: pulihkan akal sehat melalui literasi (cek fakta, baca laporan sumber primer), disiplinkan skala prioritas (bedakan yang penting dari yang mendesak), dan contohkan dari atas---pemimpin menahan diri dari panggung sensasi, fokus pada indikator hasil. Tanpa teladan di puncak, fobia kolektif akan terus melahirkan bayang-bayang baru untuk menutupi luka lama.

Di ranah hukum, editorial Tempo tentang pagar laut ilegal menunjukkan betapa jurang retorika--realitas itu konkret.
 

Proyek ilegal yang fisiknya kasatmata semestinya menjadi perkara mudah: jejak material ada, rantai komando terbayang, saksi lapangan tersedia. Namun proses berlarut menandakan ada yang macet---koordinasi antar-instansi, keberanian menembus jejaring kepentingan, atau kemauan membuka proses kepada publik. (2)

Dampaknya tak abstrak: ketika penegakan hukum lamban dan tertutup, kepercayaan warga tergerus dan biaya kepatuhan naik. Nelayan kehilangan akses, ekosistem pesisir rusak, dan praktik rente terasa "aman" karena hukuman tidak pasti. Hukum berubah menjadi dekorasi panggung: ada prolog, ada konferensi pers, tetapi babak penyelesaian tak pernah tuntas. Publik pun belajar bahwa aturan bisa dinegosiasikan.

Perbaikannya menuntut pergeseran dari "narasi" ke "kinerja": tunjukkan peta perkara, tenggat pemeriksaan, dan hasil forensik lapangan; lindungi pelapor serta jurnalis; dan pastikan sanksi menyasar otak operasi, bukan sekadar operator lapangan. Transparansi prosedural---misalnya dashboard penindakan yang bisa diakses---menciptakan tekanan positif: instansi diawasi, publik memahami progres, dan pelaku mengetahui risiko nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun