Mohon tunggu...
Josephine Damanik
Josephine Damanik Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

A law student

Selanjutnya

Tutup

Hukum

"PR" Indonesia sebagai Anggota Dewan HAM PBB

3 Desember 2019   05:15 Diperbarui: 3 Desember 2019   05:22 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Luar biasa! Untuk kelima kali, Republik Indonesia berhasil menempati kursi di Dewan HAM PBB periode 2020-2022. Sebanyak 174 dari 193 (93%) suara negara anggota PBB diraih RI pada perhelatan 17 Oktober 2019 silam.

Kabar baik ini tentu patut diapresiasi sebagai bukti bahwa RI kian diperhitungkan sebagai negara yang dipercaya dapat menjaga dan menegakkan hak asasi manusia dalam pergaulan internasional. Dunia internasional memberikan pengakuan terhadap kemampuan bangsa melindungi HAM. 

Tentu saja pengakuan itu tak datang begitu saja. Sejak lama RI terlibat aktif dalam pembahasan HAM di fora internasional, mulai dari ASEAN, OKI, ECOSOC, hingga Majelis Umum PBB sendiri. Langkah konkret dan terukur pemerintah menangani pelanggaran HAM di dalam negeri ikut menjadi salah satu faktor keberhasilan mendudukkan posisi negeri ini di Dewan HAM PBB.

Pengakuan ini penting bagi RI. Seperti dinyatakan Menlu Retno Marsudi, kerja sama dengan Dewan HAM PBB merupakan prioritas RI saat ini karena promosi dan perlindungan HAM sangat diperlukan (medcom.id 29/11/2019). Pun Indonesia akan mendorong dewan tersebut untuk bekerja sama lebih efisien, efektif, lebih terbuka dan adil.

Intinya, RI berkepentingan menjadi mitra sejati dalam pemajuan dan proteksi HAM bagi semua. Keanggotaan di Dewan HAM PBB kian menegaskan posisi RI sebagai rujukan bagi dunia internasional dalam promosi dan perlindungan HAM. 

Pekerjaan Rumah

Tentu saja posisi tersebut bukan tanpa tantangan. Di dalam negeri, diakui atau tidak, pemerintah masih punya 'pekerjaan rumah' soal penanganan kasus pelanggaran HAM yang menggantung. Tragedi Mei 1998 atau Trisakti I dan II, sekedar menyebut contoh, tergolong pelanggaran HAM berat. Selain pelakunya belum terungkap, penanganannya juga terkesan jalan di tempat. Fakta ini bisa menjadi sangat kontraproduktif dengan prestasi yang dibanggakan di atas.  

Baik untuk diketahui, bahwa kinerja suatu negara dalam penanganan HAM tidak hanya dicatat dan dilaporkan oleh lembaga formal seperti PBB. Laporan NGO tidak kalah akuratnya, sehingga sering menjadi rujukan internasional. Dampaknya cukup signifikan dalam pembentukan profil kinerja setiap negara.

Ambil contoh Amnesty International. NGO yang bermarkas di London itu mencatat tahun 2017/2018 RI masih gagal menangani pelanggaran HAM. Catatan khususnya, masih berlaku impunitas bagi pelanggar HAM, pelanggaran kebebasan beragama dan berserikat yang berujung pada pemidanaan bagi setidaknya 30 warga negara. 

Fakta tersebut bisa merugikan posisi strategis kita di Dewan HAM PBB. Dunia memandang RI tidak konsisten dalam sikap dan tindakan. Di satu sisi berusaha meyakinkan publik internasional tentang sikap tegasnya melindungi HAM, tapi di sisi lain aksi konkret di negeri sendiri tidak bergerak secara signifikan.

Pemerintah pasti menyadari hal ini sebagai pekerjaan rumah yang perlu dibereskan. Bagaimana pun, tindakan nyata dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM di dalam negeri jauh lebih strategis ketimbang mengejar dukungan diplomatik jangka pendek di forum internasional. Semakin terukur kasus pelanggaran HAM yang diselesaikan secara adil, semakin naik reputasi bangsa di mata internasional. 

Dua langkah berikut dapat dimulai untuk membereskan pekerjaan rumah tadi. Pertama, penanganan secara tuntas kasus HAM yang masih terkatung-katung hingga kini dan menyita tidak hanya perhatian internasional tapi juga publik dalam negeri. Mungkin tidak semuanya bisa selesai dalam tiga sampai lima tahun ke depan, tetapi minimal kasus yang paling menonjol dapat dituntaskan. Efek positif dari penuntasan kasus besar niscaya akan memudahkan langkah berikutnya.

Kedua, peningkatan promosi penghormatan HAM lewat aras kebijakan. Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR). Komitmen RI seharusnya tidak berhenti pada titik ratifikasi konvenan internasional. Lebih jauh, ratifikasi itu perlu dihilirkan menjadi aksi nyata agar publik lokal dan internasional semakin apresiatif dan reputasi RI kian meningkat. 

Salah satu caranya adalah penguatan kontrol publik atas penyusunan produk hukum yang potensial melanggar HAM, baik di pusat maupun di daerah. Partisipasi aktif masyarakat kritis dan sadar hukum dalam penanganan HAM perlu terus ditingkatkan. Dengan demikian pekerjaan rumah RI lebih ringan di Dewan HAM PBB. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun