Tanggal 16 Agustus 2025 bukan sekadar catatan kalender. Bagi banyak orang, itu adalah sehari sebelum bangsa ini merayakan kemerdekaannya. Tapi bagiku, tanggal itu adalah hari ketika aku kehilangan orang yang paling penting dalam hidupku: Mama.Awalnya semua terasa biasa saja. Aku bangun pagi, bersiap ke kantor, dan merencanakan sesuatu yang sederhana setelah jam kerja-berenang bersama teman kuliah. Tidak ada firasat buruk, tidak ada bayangan kehilangan. Semua tampak normal… sampai sebuah pesan WhatsApp masuk.
Pesan Pagi Itu
Pesan itu dari Mama. Ia bilang sedang berada di rumah sakit. Katanya semalam merasa sakit di dada, lalu memutuskan berangkat sendiri naik ojek ke IGD. Aku terdiam, antara khawatir dan heran—bagaimana mungkin Mama yang sudah lama sakit berangkat sendirian?
Tak lama, ia mengirim foto. Senyumnya masih ada, meski wajahnya pucat dengan infus terpasang di tangan. “Wanita bionic ini tumbang lagi,” tulisnya.
Aku membaca pesan itu dengan campuran cemas dan lega. Cemas karena ia sampai harus masuk rumah sakit. Lega karena ia masih sempat bercanda. Aku tidak tahu kalau itu akan menjadi salah satu pesan terakhir darinya.
Telepon yang Mengubah Segalanya
Sekitar pukul 11 siang, ponselku berdering. Nama Mama muncul di layar. Aku langsung mengangkat, tapi bukan suaranya yang terdengar. Seorang dokter muncul lewat video call. Dengan wajah serius, ia menyampaikan kabar yang membuat tubuhku gemetar.
Kondisi Mama kritis. Nadinya lemah, paru-parunya dipenuhi cairan, jantungnya membesar. Dokter berkata kemungkinan besar Mama tidak bisa ditolong. Ia meminta ada keluarga yang segera datang mendampingi.
Aku berdiri di kantor, kaku. Dunia seakan berhenti. Aku tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu harus melakukan apa. Manager memelukku, teman-teman mencoba menenangkan, tapi tubuhku masih bergetar. Aku menelpon kakakku yang ada di Jakarta, dan ia segera mencari cara agar aku bisa ditemani menuju RSUD Lawang.
Sesampainya di sana, sudah terlambat. Mama terbujur kaku. Diam. Tidak ada lagi senyum, tidak ada lagi suara cerewetnya, tidak ada lagi notifikasi chat darinya. Aku hanya bisa menatap, mencoba menahan tangis, sementara di dalam hati aku hancur.
Lagu yang Menjadi Nyata
Beberapa hari sebelum kejadian, aku menonton film Sore: Istri dari Masa Depan. Ada satu soundtrack dari Barasuara yang berjudul “Terbuang Dalam Waktu.” Entah kenapa, saat pertama kali mendengar lagu itu, aku menangis. Padahal waktu itu aku tidak mengerti benar alasannya.