Kamu tahu nggak, saat ini aku merasa kalah telak denganmu. Ada sedikit rasa sesal di hati saat melihatmu bersama suami dan anak-anakmu.
Kamu sudah menjadi PNS. Suamimu juga sukses. Meski belum PNS sepertimu, aktivitas sosial keagamaan cukup banyak. Tentu uangnya pun lebih dari cukup untuk membahagiakanmu dan keluarga kecilmu.
Huffft... Aku kembali mengenangmu dan kisah kita dulu. Sebenarnya aku harusnya bersyukur bisa memenangkan hatimu tanpa harus berkorban banyak.Â
Banyak lelaki dari kampung kita yang berusaha meraih hatimu. Kamu ingat, ada Mudi yang mengirimimu kaset band favoritmu, Sheila on 7. Kamu tolak mentah-mentah. Padahal ada cokelat dan boneka juga yang menemani kaset itu.
Ada Zain yang tak kalah gesit untuk memperjuangkanmu. Surat cinta romantis plus minyak wangi untuk mengharumkan tubuhmu dan perangkat alat make up bisa lebih mempercantikmu.
Lelaki lain? Niru gaya dan cara Mudi dan Zai. Sementara aku? Tanpa modal! Maksudku aku cuma modal tampang saja. Di antara banyak lelaki yang mendekatimu akulah yang tercakep. Kamu pasti mengakui itu kan? Hahaha...
Hubungan kita sudah menjadi rahasia umum di kampung. Bapakku meng-oke-kan. Kata beliau, senang kalau punya mantu sepertimu. Rumah dekat, cantik lagi.Â
Nah kalau ibuku, agak sulit memang. Terus terang aku tak yakin akan hubungan kita. Ya karena ibu tak menyukaimu.Â
Tanpa sepengetahuanmu, ibu mau menjodohkan aku dengan putri temannya. Aku sudah bertemu dan ngobrol dengannya. Namun, aku kurang sreg. Meski dia lulusan universitas terkemuka di Jawa, aku tak menyukainya sama sekali.Â
**
Petualanganku untuk mencari jodoh mulai dengan bermain belakang. Aku menembak Ina, perempuan dari kampung sebelah. Hubunganku tak berjalan mulus. Lagi-lagi ibu tak suka karena mereka keluarga biasa.Â
Lagi-lagi petualanganku menggila. Apalagi karirku sebagai pegawai di sebuah bank perkreditan rakyat makin mentereng. Banyak perempuan takluk, bahkan mengejar-ngejarku.
Nasib kamu?
Sama sekali tak kupedulikan lagi. Meski kedua mbakmu sering mendamaikan kita. Ya hubungan kita hancur. Kamu nangis-nangis, aku semakin menjauhimu. Aku sering ngapeli banyak perempuan.Â
Kamu tahu, salah satunya ponakan wakil bupati yang kuapeli. Dan kini perempuan itu telah memberikan keturunan dua bocah balita perempuan.
Mungkin kali ini kamu dan kedua mbakmu merasa menang. Kalian pasti menertawakanku. Kenapa?
Seiring berjalannya waktu, bank tempat kerjaku gulung tikar. Ada korupsi besar-besaran di sana. Alhasil aku tak lagi menjadi pegawai sukses lagi.
***
"Mas, sapinya dikombori dulu sana! Trus nanti aku mau ke kondangan ya! Jangan lupa, anak-anak dimandikan dan disuapi," suara perempuan menyadarkan aku pada lamunanku tentangmu.
Ya, aku sekarang nggadhuhke sapi. Tampilanku tak elegan lagi seperti saat menjadi pegawai bank. Aku mengenakan kaos lusuh, rambut panjang tak karuan.Â
"Ya, bune..."