"Kok begitu? Ayah tuh kenapa sih, bu?"
"Ibu nggak tahu, Husna..."
"Kalau begitu ibu tanyakan ayah..."
Selanjutnya Husna merajuk, ingin menelepon ayahnya. Aku hendak mengambilkan HP Husna tapi Husna tak mau.
"Telepon ayah pakai HP ibu saja..."
***
Mas Mumtaz tak juga mengangkat telepon Husna. Mungkin dia merasa benar- benar kesal padaku. Tapi harusnya putrinya menjadi sasaran kekesalannya kan?
Aku menghibur Husna, putriku yang beranjak besar. Aku lihat putriku masih memegang HPku. Lalu mengetikkan sesuatu.Â
"Ibu jangan hapus pesanku ya..."
Husna menyerahkan HPku. Kuanggukkan kepala. Kurangkul gadisku itu untuk tenangkan hatinya. Ya...Husna menjadi korban perpisahan orangtuanya. Sang nenek tak memahami cucunya. Sementara aku tak berdaya. Mas Mumtaz pun demikian. Karenanya aku sudah menepikan harapan untuk bersama Mas Mumtaz.Â
Aku tak paham lagi apa itu cinta, sayang dan rindu padanya. Aku hanya memikirkan kebahagiaan Husna dan aku sendiri. Kalau mas Mumtaz datang ke rumah, kuanggap untuk memberikan kasih sayang untuk Husna.