Saya ingat sebuah lagu yang sangat familiar di telinga saya saat masih kecil. Diajari oleh orangtua saya. Dinyanyikan sambil memposisikan duduk dengan kaki berselonjor. Kedua tangan diletakkan di atas kedua dengkul atau lutut lalu tangan digerakkan sampai mata kaki. Saya tak tahu dengan cara menyanyikan lagu ini di daerah lain. Lagunya berbahasa Jawa.Â
Apalagi kalau bukan Sluku- sluku Bathok. Karena dinyanyikan dengan posisi duduk dan mengerakkan tangan dari dengkul atau lutut ke arah mata kaki kembali ke dengkul (lutut) dan seterusnya, tak heran lagu ini sering dianggap sebagai lagu dolanan anak.
Anak saya ketika belajar di TK pun diajari menyanyikan tembang ini. Di rumah diulang- ulang. Apalagi kalau akan pentas, pastilah dinyanyikan setiap hari.Â
Syair lagunya ini,Â
Sluku- sluku bathok
Bathoke ela elo
Si Rama menyang Solo
Leh olehe payung mutha
Mak jenthit lolo lobah
Wong mati ora obah
Yen obah medeni bocah
Yen urip goleko dhuit
Ternyata oh ternyata lagu tersebut bermakna luar biasa. Ketika masih kecil saya hanya sekadar bisa menyanyi saja. Anak saya pun pasti juga belum paham maknanya. Namun saya yakin suatu saat mereka akan paham akan makna dari setiap syair di lagu tersebut. Hal terpenting saat mereka masih anak- anak adalah mengenal lagu daerah dulu. Karena memahami lagu berbahasa Jawa tak semudah memahami lagu berbahasa Indonesia.Â
Saya pun memahami makna lagu itu setelah menginjak usia remaja. Jika kita browsing di internet pun kita akan mudah menemukan makna lagu Sluku-sluku bathok ini.Â
Syair lagu Sluku- sluku Bathok berasal dari bahasa Arab. Usluku suluka bathnaka, artinya jalankanlah, jalankanlah batinmu.Â
Bathoke ela elo berasal dari bathnaka la ilaha illallah, batinmu (melantunkan) la ilaha illallah, tidak ada Tuhan selain Allah.Â
Si Rama menyang Solo berasal dari sirru ma'a man sholla, mandilah, bersucilah, kemudian kerjakan sholat.Â
Oleh-olehe payung mutha, la ilaha illallah hayyun mauta, perbanyak dzikir kepada Allah selagi masih hidup, bertobat sebelum datangnya maut.Â
Mak jenthit lolo lobah, wong mati ora obah, yen obah medeni bocah, yen urip goleko dhuwit. Bila maut menjemput, orang mati itu hanya sak jenthitan (satu tunggingan), lalu tidak bergerak selama-lamanya. Malah jika bergerak akan menakuti-nakuti anak kecil. Ketika masih hidup maka manusia bertugas mencari nafkah yang baik dan halal bagi keluarganya.
Lagu atau tembang berbahasa Jawa memang menjadi alat untuk menuntun manusia agar hidup sesuai tatanan ---ajaran agama---. Seperti tembang Ilir- ilir misalnya.Â
Mari kita kenalkan lagu- lagu daerah kita meski belum tentu anak mengetahui maknanya. Tentu mengenalkan lagu daerah tak hanya yang berasal dari asal suku bangsanya. Lagu dari daerah lain juga perlu dikenalkan.Â
Saya sedikit bersyukur dalam materi pelajaran Tematik SD pun telah mengenalkan lagu dari beberapa daerah. Yamko Rambe Yamko, misalnya. Sio Tantina juga.
Kesemua lagu daerah patut kita banggakan. Lagu- lagu itu merupakan kekayaan yang harus dijaga kelestariannya. Jangan sampai generasi kita hafal lagu dari manca negara namun lagu daerah malah tak tahu.
***
Sumber tulisan: alif.id, budayajawa.id dan sumber lain