Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Haru Biru Cintaku

12 Juli 2019   05:49 Diperbarui: 12 Juli 2019   06:01 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kotak beserta cincin itu masih kupegang. Ayah Husna yang memberikan untukku setelah dugaanku keliru. Kuduga kotak cincin itu ditunjukkan padaku untuk menanyakan pantas tidaknya cincin itu untuk Intan. Ternyata cincin itu untukku. Dia mengatakan kalau cincin itu sebagai tanda atas keputusan hatinya. Dia mengizinkan Intan dan putrinya bertemu Dino.

Sebelumnya ayah Husna berseteru dengan Dino. Dino adalah masa lalu Intan---istri ayah Husna---. Darinya aku tahu bahwa yang dikatakan mas Mumtaz dulu adalah benar. Anak yang mereka besarkan bukanlah buah hati mereka.

Ada kelegaan di hatiku setelah mengetahui hal itu. Apalagi cincin yang kuterima dari ayah Husna menegaskan keputusannya. Namun aku masih ragu akan langkah kami. Apalagi kalau bukan restu orangtua mas Mumtaz.

Orangtua mas Mumtaz jelas bisa menerima Husna, namun kalau menerima aku ---rasanya--- sulit dan tak mungkin. Ya langkah kami akan menghadapi tembok besar yang sulit kami tembus atau runtuhkan.

Aku sebagai perempuan juga tak mungkin menjerumuskan orang yang kusayangi ke lembah neraka. Aku tak ingin menjerumuskannya dan menjadikannya Malin Kundang masa kini.

Segera kusimpan kotak cincin dari ayah Husna. Kupersiapkan alat pembelajaran hari ini dan bersiap menuju kelas. Masih ada waktu 10 menit untuk ke kelas. Saat ini para siswa di kelasku sedang belajar Pendidikan Agama.

**

Malam ini, ketika Husna telah terlelap, aku mengecek pesan-pesan yang masuk ke kontakku. Biasanya siswa atau orangtua sering menanyakan ini-itu. Aku sebagai pengganti orangtua ketika siswa berada di sekolah harus membangun komunikasi yang baik. 

Satu persatu pesan kubaca dan kubalas. Pesan ayah Husna paling akhir kubaca.

"Put, malam Minggu besok Husna kujemput ya. Neneknya kangen..."

"Oh...iya. Ibunya Husna juga kujemput... "

Ayah Husna mengirimkan pesan itu malam ini. Bukannya bahagia namun malah membuatku semakin tak menentu. Husna ke rumah neneknya tiap Sabtu, itu sudah biasa. Namun aku, jadi apa aku di sana?

Orangtua mas Mumtaz akan menatapku sinis seperti dulu. Intan pasti juga takkan menyukaiku. Kalau sudah begitu, bukankah hanya membuat aku dan Husna tak nyaman?

"Helloooo....Put! Kok nggak bales?"

Aku masih ragu untuk membalas pesan ayah Husna itu. Tapi ayah Husna sudah mempertanyakan jawabanku. 

Kusorot chat pertama ayah Husna. Kuketikkan pelan jawabanku.

"Husna saja yang mas jemput ya..."

Kukirimkan balasan pesan itu. Lalu buru- buru HP aku non-aktifkan. Ayah Husna pasti akan bertanya atas jawabanku tadi. Aku tak mau berdebat dengannya karena aku tak siap dan tak ingin merusak suasana malam minggu Husna dan keluarga neneknya.

*

Seperti yang kuduga, kalau aku tak membalas pesannya ---pesan semalam kusebut undangan malam Minggu--- pasti ayah Husna menemuiku pagi harinya. Dia berangkat ke kantor lebih awal dan menungguku di sekolah.

Kecuali pagi ini. Ayah Husna tak menungguku di sekolah. Dia ke rumah, ketika aku dan Husna tengah bersiap sarapan. Suara bel rumah mengejutkan kami. Tak seperti biasa pagi- pagi sudah ada yang bertamu.

Karena aku baru menyiapkan sarapan, Husna-lah yang membukakan pintu. Dari ruang makan kudengar lirih suara Husna menyebut- nyebut "ayah". Untuk memastikan, aku bertanya ke Husna dari ruang makan. Kiranya Husna mendengar pertanyaanku.

"Siapa tamunya, Husna?"

Tak ada sahutan dari Husna. 

Aku mau menyusul Husna ke ruang tamu dan memanggil Husna untuk sarapan. 

"Sarapan dulu, Hus...!"

Kupanggil Husna sambil aku menuju ruang tamu.

"Apa aku boleh ikut sarapan, bu Mumtaz?"

Ah...ternyata ayah Husna benar bersama gadis kecilku itu.

Kuhampiri Husna. "Husna, kamu sarapan dulu ya. Jangan lupa susunya diminum..."

Husna bergegas ke ruang makan. 

"Bu Mumtaz tak mengajakku sarapan?"

Aku hanya memandang ayah Husna dan segera menyusul Husna.

Ayah Husna pun mengikuti dan menyejajariku dan bicara pelan padaku.

"Kamu yakin tak mau ke rumah malam Minggu besok?"

Aku tak menyahut pertanyaan ayah Husna. 

"Put, nanti kamu nyesel lho. Aku sama Intan sebentar lagi berpisah. Kalau aku ngajak perempuan lain kan nggak ada yang melarang..."

Aku menghentikan langkahku. Kutatap wajah ayah Husna. 

"Maksud mas gimana..."

"Sebentar lagi akan aku jadi duda..."

"Duda? Duda dari mana? Lupa sama ak..."

Aku selalu salah tingkah dan sulit mengontrol omonganku di depan ayah Husna. Ayah Husna tertawa. 

"Lupa sama siapa...?"

Ayah Husna menggodaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun